Ah!
Tengah hari itu atmosfer di atasku rasanya benar-benar sumpek. Panas terik
diluar yang mengalir masuk ke ruangan sempit berukuran 2x3 meter, tempat Bu dosen
terbaik ku sehari-hari bersemayam, semakin terasa gerah saat kata demi kata
wejangan mengalir lancar dari mulutnya. Hanya untukku. Ya, hanya untukku. Spesial.
Khusus pakai telur ceplok. Haha!
Tak ada
yang salah sebenarnya dari apa yang beliau katakan. Semua benar belaka. Aku
juga tidak merasa berkecil hati saat wejangan sedap pakai terlur ceplok itu
diberikan khusus untukku. Hanya, kaki ku terasa gatal dan gemetaran ingin
melarikan diri dari ruangan itu secepat mungkin. Untung saja logika sadar ku
menahan diriku untuk melakukannya. Logika dan nurani ku menyabarkan ku, membuat
ku mau tidak mau harus menerima semua petuah yang beliau berikan.
“Kamu itu
sebenarnya bisa, Sachan! Kamu ga bego, hanya pemalas saja!” Mungkin Bu dosen
terbaikku bermaksud menyemangati ku dengan kata-kata itu. Meski agak terasa
pedas, aku masih menerimanya sebagai kalimat penyemangat. Masih banyak lagi
nasehat yang beliau berikan. Sesekali perasaan tidak kuat mendengarkan ucapan
beliau melanda diri ku. Tapi lagi-lagi aku teringat: sudah sepatutnya beliau
memberikan nasehat pada ku, mahasiswa bimbingannya. Dan aku, sebagai mahasiswa
yang dibimbing, sudah sewajarnya pula untuk menerima semua nasehat yang
diberikan untuk kebaikan ku. Jika beliau bukan dosen pembimbing, tidak mungkin
nasehat panjang lebar ini beliau sampaikan. Selain itu aku juga harus berjiwa
besar untuk menerima kritikan yang membangun diriku, kan?
Meski
pemikiran bijaksana ku berusaha menenangkan diri ku, tapi tetap saja ternyata
aku tidak tahan. Pada akhirnya aku lebih memilih berkata jujur pada Bu dosen
terbaikku, “Sebenarnya, diawal kuliah dulu saya menjalaninya setengah hati, buk.”
Aku tidak
tahu apakah berkata jujur tentang diriku yang tak serius dimasa yang lalu,
adalah keputusan terbaik. Aku tak ingin terlalu memikirkannya. Walaupun aku
sedikit merasa berkecil hati saat Bu dosen terbaikku menyuruhku menyelesaikan
studi ku secepatnya tanpa harus memikirkan IPK, aku masih sedikit bersyukur dan
lega bahwa Bu dosen terbaikku dititik ini sudah mengenalku dan tahu siapa aku
sebenarnya.
Kalian
tahu, hal yang paling aku takutkan dan tak ingin itu terjadi adalah: aku
mengecewakan pembimbingku. Aku sangat tidak ingin mengecewakan beliau. Karena
itu, diawal pertemuan kami aku selalu berusaha membuat Bu dosen terbaikku
mengapresiasi setiap kerja ku. Aku selalu berusaha tepat waktu disetiap janji
pertemuan kami dan selalu berusaha tepat waktu memberikan setiap laporan tugas yang
diberikan. Sayang, kerja baikku tidak bertahan lama karena itu bukan seperti
aku yang sebenarnya: Pemalas, moody dan suka mengerjakan tugas saat sudah
hampir jatuh tempo pengumpulan.
“Sebegitu
pentingnya kah nilai buat kamu, Sachan? Kenapa kamu harus memaksakan diri jika
kamu memang tidak bisa serius kuliah disini?” Kalimat yang luar biasa sebenarnya.
Aku pantas untuk mendapatkan nasehat itu.
“Coba deh
kamu merenung. Pikirkan apa hal yang bisa kamu lakukan setelah wisuda nanti?
Lebih baik kamu menamatkan kuliah disini secepatnya, lalu kamu bisa melakukan
hal yang kamu suka! Sebegitu pentingnya kah nilai untuk kamu?”
Huft!
Meski
dada ini berat, tapi bibir ini tetap menyunggingkan seulas senyum untuk Bu
dosen terbaikku. Lalu fikiran ku berkata, “Dengarlah, Sachan! Semua yang
dikatakan Bu Riza itu benar!”
Lihat!
Bahkan diriku saja tidak kompak saat itu. Aku benar-benar tidak tahu harus
mengatakan apa. Senyum yang terus menyungging terasa membuat ku seperti orang
bodoh. Tapi… Ah!
Ruangan
kecil itu terasa semakin panas saja. Entah karena aku pengecut atau memang
menghargai dosenku, aku masih duduk manis di seberang meja beliau. Menunggu
hingga beliau menyelesaikan kalimat wejangannya. Kegerahan yang kurasa seperti
tak berarti apa-apa. Terik matahari di luar ruangan bukan hal yang patut untuk
dirisaukan lagi.
Pada
akhirnya semua itu pun berakhir. Saat Bu dosen terbaikku menyelesaikan kalimat
terakhirnya, aku langsung memohon izin cabut dari ruangan beliau. Tentu saja
dengan sopan santun seperti biasanya. Meski aku sedikit merasa rendah diri
setelah ribuan nasehat yang beliau berikan. Bagiku beliau masih tetap menjadi
dosen terbaikku dan aku berharap selamanya akan begitu.
Aku tak keluar
dengan langkah gontai, tentu saja. Kepala ku harus tetap tegak meski saat itu
aku merasa malu, pada dosenku, pada diriku, dan pada yang memberi kehidupan pun
juga. Meski aku saat itu malu, tidak apa. Aku hanya perlu lebih berusaha lagi
kedepan. Meski aku sempat terduduk ditangga sesaat setelah aku keluar ruangan,
itu bukan apa-apa. Aku hanya harus menata kembali hidupku dimasa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar