Kamis, 25 Juni 2015

Balada tarian hujan cintaku



Bukan karena cinta yang buta
Aku rela berikan semua.

Setia ku tak buta
Pengorbanan ku, bukan tak berlogika
Kasih sayangku
yang akan selalu memayungi mu,
hanya karena CINTA.

Sekarang, nanti dan selamanya
Hanya melodi mu yang bermakna.

Ku pasrahkan melodi mu
menuntun tarianku.

Ku biarkan melodi mu merasuki ku,
meliukkan tubuhku dibawah dinginnya hujan,
berputar di atas tanah yang tak datar,
karena bagi ku itu bahagia.

Aku rela, aku bahagia, aku percaya,
pekat dawai cinta yang kau petik
adalah karena DIA.

Melodi mu bagi ku, getaran cinta.
Melodi mu bagi ku, panah asmara.
Melodi mu bagi ku, adalah surga.

Sumpah setia ku untukmu,
saat kau ucap “aku terima..”.


Misachan
Padang, 15 Juni 2015

Hanya puisi dari sebuah gambar :D

Prolog sebuah catatan



Ah! Tengah hari itu atmosfer di atasku rasanya benar-benar sumpek. Panas terik diluar yang mengalir masuk ke ruangan sempit berukuran 2x3 meter, tempat Bu dosen terbaik ku sehari-hari bersemayam, semakin terasa gerah saat kata demi kata wejangan mengalir lancar dari mulutnya. Hanya untukku. Ya, hanya untukku. Spesial. Khusus pakai telur ceplok. Haha!

Tak ada yang salah sebenarnya dari apa yang beliau katakan. Semua benar belaka. Aku juga tidak merasa berkecil hati saat wejangan sedap pakai terlur ceplok itu diberikan khusus untukku. Hanya, kaki ku terasa gatal dan gemetaran ingin melarikan diri dari ruangan itu secepat mungkin. Untung saja logika sadar ku menahan diriku untuk melakukannya. Logika dan nurani ku menyabarkan ku, membuat ku mau tidak mau harus menerima semua petuah yang beliau berikan.

“Kamu itu sebenarnya bisa, Sachan! Kamu ga bego, hanya pemalas saja!” Mungkin Bu dosen terbaikku bermaksud menyemangati ku dengan kata-kata itu. Meski agak terasa pedas, aku masih menerimanya sebagai kalimat penyemangat. Masih banyak lagi nasehat yang beliau berikan. Sesekali perasaan tidak kuat mendengarkan ucapan beliau melanda diri ku. Tapi lagi-lagi aku teringat: sudah sepatutnya beliau memberikan nasehat pada ku, mahasiswa bimbingannya. Dan aku, sebagai mahasiswa yang dibimbing, sudah sewajarnya pula untuk menerima semua nasehat yang diberikan untuk kebaikan ku. Jika beliau bukan dosen pembimbing, tidak mungkin nasehat panjang lebar ini beliau sampaikan. Selain itu aku juga harus berjiwa besar untuk menerima kritikan yang membangun diriku, kan?

Meski pemikiran bijaksana ku berusaha menenangkan diri ku, tapi tetap saja ternyata aku tidak tahan. Pada akhirnya aku lebih memilih berkata jujur pada Bu dosen terbaikku, “Sebenarnya, diawal kuliah dulu saya menjalaninya setengah hati, buk.”

Aku tidak tahu apakah berkata jujur tentang diriku yang tak serius dimasa yang lalu, adalah keputusan terbaik. Aku tak ingin terlalu memikirkannya. Walaupun aku sedikit merasa berkecil hati saat Bu dosen terbaikku menyuruhku menyelesaikan studi ku secepatnya tanpa harus memikirkan IPK, aku masih sedikit bersyukur dan lega bahwa Bu dosen terbaikku dititik ini sudah mengenalku dan tahu siapa aku sebenarnya.

Kalian tahu, hal yang paling aku takutkan dan tak ingin itu terjadi adalah: aku mengecewakan pembimbingku. Aku sangat tidak ingin mengecewakan beliau. Karena itu, diawal pertemuan kami aku selalu berusaha membuat Bu dosen terbaikku mengapresiasi setiap kerja ku. Aku selalu berusaha tepat waktu disetiap janji pertemuan kami dan selalu berusaha tepat waktu memberikan setiap laporan tugas yang diberikan. Sayang, kerja baikku tidak bertahan lama karena itu bukan seperti aku yang sebenarnya: Pemalas, moody dan suka mengerjakan tugas saat sudah hampir jatuh tempo pengumpulan.

“Sebegitu pentingnya kah nilai buat kamu, Sachan? Kenapa kamu harus memaksakan diri jika kamu memang tidak bisa serius kuliah disini?” Kalimat yang luar biasa sebenarnya. Aku pantas untuk mendapatkan nasehat itu.

“Coba deh kamu merenung. Pikirkan apa hal yang bisa kamu lakukan setelah wisuda nanti? Lebih baik kamu menamatkan kuliah disini secepatnya, lalu kamu bisa melakukan hal yang kamu suka! Sebegitu pentingnya kah nilai untuk kamu?”

Huft!

Meski dada ini berat, tapi bibir ini tetap menyunggingkan seulas senyum untuk Bu dosen terbaikku. Lalu fikiran ku berkata, “Dengarlah, Sachan! Semua yang dikatakan Bu Riza itu benar!”

Lihat! Bahkan diriku saja tidak kompak saat itu. Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Senyum yang terus menyungging terasa membuat ku seperti orang bodoh. Tapi… Ah!

Ruangan kecil itu terasa semakin panas saja. Entah karena aku pengecut atau memang menghargai dosenku, aku masih duduk manis di seberang meja beliau. Menunggu hingga beliau menyelesaikan kalimat wejangannya. Kegerahan yang kurasa seperti tak berarti apa-apa. Terik matahari di luar ruangan bukan hal yang patut untuk dirisaukan lagi. 

Pada akhirnya semua itu pun berakhir. Saat Bu dosen terbaikku menyelesaikan kalimat terakhirnya, aku langsung memohon izin cabut dari ruangan beliau. Tentu saja dengan sopan santun seperti biasanya. Meski aku sedikit merasa rendah diri setelah ribuan nasehat yang beliau berikan. Bagiku beliau masih tetap menjadi dosen terbaikku dan aku berharap selamanya akan begitu.

Aku tak keluar dengan langkah gontai, tentu saja. Kepala ku harus tetap tegak meski saat itu aku merasa malu, pada dosenku, pada diriku, dan pada yang memberi kehidupan pun juga. Meski aku saat itu malu, tidak apa. Aku hanya perlu lebih berusaha lagi kedepan. Meski aku sempat terduduk ditangga sesaat setelah aku keluar ruangan, itu bukan apa-apa. Aku hanya harus menata kembali hidupku dimasa depan.

Selasa, 23 Juni 2015

Episode Perkenalan

Engkau tanya aku siapa.
Aku jawab: aku ya aku.

Engkau tak akan menemukan aku pada yang lain yang kau temui. Tapi, kau jangan mengaharapkan yang spesial tentang diriku, karena aku biasa sebiasa aku berpikir aku orang biasa.

Aku hidup dengan rutinitas biasa. seperti kebanyakan orang lain lain dan tentu saja kau juga. Makan tiga kali sehari, tentu saja hanya dua kali saat puasa. Minum saat haus, tapi lagi-lagi tak kan minum saat puasa. Shalat lima kali sehari dan aku berharap kalian pun sama. Menyisihkan sedikit harta untuk si tidak mampu, aku lihat sepertinya kau juga. Tapi sayang aku belum sempat ke tanah suci karena aku masih belum banyak harta tapi suatu saat nanti berharap aku bisa. Pada akhirnya aku menuliskan tiga rukun islam dari yang lima.

Alhamdulillah, ya ...
haha :D :v

Well, aku biasa seperti aku berpikir aku biasa. Panggil saja aku apa adanya. Dan sekarang sungguh aku tak bermaksud untuk menuliskan kalimatku dengan akhiran a.

Maaf kan ke-gaje-an ku ini ya, guys..
Selamat membaca postingan ku selanjutnya..



Senin, 22 Juni 2015

Huft...!!
Tau ga, ini blog ku yang kesekian lho.. Udah banyak dan sering banget aku bikin blog. Tapi...

Tapi...???

Haha..Ya sudahlah..
Blog yang lama biarkan jadi masa lalu :D

Oooppss...karena ini masih baru, sorry, ya kalo masih bau cat..hehe..
kalo haus  ambil aja sendiri di dapur (eh, puasa ding! ga ada minuman klo siang :p).
Anggap rumah sendiri aja, ya.. Semoga betah :) :D