Minggu, 27 September 2015

Mengalah

“Gue udah istokhoroh dan lo tau apa jawaban istikhoroh gue itu?” Ceritanya malam itu ketika aku bermalam dirumahnya. Entah kenapa sepanjang dia bercerita ada sebersit perasaan cemburu yang bergelora didadaku. Lelaki yang belum dia sebutkan namanya itu benar-benar tidak membuatku tenang.

            “Hati gue semakin merasa condong sama dia, Ai!”

            Dia terus bercerita tentang pendaman perasaannya. Sementara aku, mendengar tapi sibuk dengan pikiran dan dugaan-dugaan yang benar-benar membuat hatiku ngilu sendiri. Bagaimana kalau seandainya orang yang sama? Ah! Kenapa hatiku seperti tak rela sih. Padahal Dhiya sendiri belum mengatakan siapa nama orang itu? Tapi kalau benar dia bagaimana? Haaah! Tapi kan aku yang suka dia duluan? Kenapa sih harus lelaki itu juga?

            Hatiku sibuk menceracau sendiri. Perasaan tak rela ini benar-benar menyusahkan ku. Untung saja saat itu ruangan kamar yang gelap membuatku bebas membuat ekspresi apa pun diwajahku tanpa dia ketahui. Aku juga tak berani mengatakan langsung tebakan ku tentang nama lelaki yang dia ceritakan. Bayangan kata iya yang akan diberikan di ujung pertanyaan ku nanti sungguh tak membuatku tenang. Aku jelas tidak siap untuk mendengar jawaban itu. 

            “Kadang gue merasa menyesal udah istikhoroh, lo tau ngga? Gue juga kadang tak merasa yakin jika dia bakal suka sama gue juga. Gue aja masih kaya gini sedangkan dia orangnya taat seperti itu!”
             
Aku menatap lurus langit-langit kamar yang gelap. Kernyitan dahi yang terus berubah-ubah. Decakan bibir yang tertahan dan tak mampu ku keluarkan. Kondisi itu benar-benar membuatku berfikir bagaimana jika ternyata kami benar-benar menyukai orang yang sama?

            Aku memang yang suka dia duluan. Lalu apa? Kalau dia jodohnya sama Dhiya gimana? Lo ngga rela? Yang benar aja?! Masa lo bakal meratapi orang yang tak akan pernah lo miliki? Hah! Tapi kan belum terjadi! Tapi kalo ternyata dia bukan jodoh lo gimana? Lo bakal ikhlas apa engga? Lagian lelaki itu juga belum tahu tentang perasaan lo sama dia, kan? Terus, berarti lo jadi saingan sama teman sendiri dong?

            Ah! Aku kesal sendiri pada diriku yang semakin memperjelas kondisiku. Kalimat-kalimat yang terbersit terasa seakan menyudutkanku.

            “Ngga ada yang ngga mungkin bagi Allah kali, Dhiy. Kenapa lo ga lanjut tukeran proposal aja sama dia? Siapa tahu dia beneran jodoh Lo.”

            Serius. Itu adalah kalimat yang tulus ku ucapkan dari hatiku. Bukan karena merasa yakin aku yang akan memenangkan hati si arjuna, tapi aku hanya belajar menyerahkan semuanya pada takdir. Meskipun aku benar-benar yakin kalau orang yang dia ceritakan adalah sama dengan orang yang ku fikirkan. Tapi aku sadar bahwa aku tak punya hak untuk melarang seseorang untuk menyukai seseorang yang lainnya. Jika pun kami terperangkap lingkaran perasaan pada orang yang sama, biarkan takdir yang menjawabnya. Malam itu aku belajar untuk mengalah dan mnyerahkan semuanya pada takdir.

            Malam itu pun berlalu. Hari-hari berikutnya dia masih bercerita padaku tentang perasaannya. Sesekali dia juga bertanya tentang orang yang ku suka. Tapi, sedapat mungkin aku berkilah dan tak ingin dia tahu tentang kisahku sendiri.
            Ya. Dhiya memang temanku. Bukannya aku tak percaya untuk menceritakan kisahku sendiri padanya. Tapi aku hanya ingin menemukan waktu yang tepat untuk bercerita.

            Hari-hari pun tetap melaju. Sesekali obrolan kami saat bertemu masih seputar tentang pendaman perasaan dirinya pada mister X yang membelenggu hatinya. Dan suatu hari tanpa aku minta dia menyebutkan sendiri nama sang pujaan hati. 

            “Dito. Orang yang selama ini gue ceritain ke elo itu Dito, Ai.”

            “Hm..Gue udah tau kok kalau itu Dito.” Jawabku datar.

            Ada nada tak percaya dari pertanyaan dia selanjutnya padaku. Seolah-olah apa yang aku ucapankan adalah olok-olokan untuk mempermainkannya.

            “Lo tau dari mana?”

            “Gue udah tau dari semenjak lo cerita ke gue waktu gue nginap di rumah lo hari itu!”

            “Ah! Ga percaya gue! Kok bisa? Lo nebaknya dari apa?”

            “Yah! Gue tau aja!”

            Aku tak bisa menjawabnya denga jawaban feeling sesama wanita. Karena itu artinya aku membongkar kisahku sendiri. Aku tak ingin cerita bahwa aku adalah orang yang menyukai Dito dua tahun labih dulu daripada dia. Sebelum dia kenal Dito aku sudah kenal duluan. Dan aku suka pada pandangan pertama.

            Aku tak ingin menceritakan cerita mellow gila itu padanya. Biarlah kisah ini akan terungkap pada waktu aku siap bercerita. Pada saat aku benar-benar merasa yakin bahwa aku bisa menyerahkan semua ketentuan akhir cerita pada sang pemilik takdir. Lagi pula aku tak ingin mengatakan bahwa dia adalah saingaku dan aku saingannya.

***

            Beberapa bulan berlalu. Cerita Dhiya tentang Dito masih tetap mengalir diwaktu-waktu kami bertemu. Aku semakin tahu seberapa mendalamnya perasaan Dhiya pada Dito. Tentang kegalauannya yang tak merasa yakin bersanding dengan Dito. Tentang Dito seperti orang yang tak tergapai olehnya. Dan tentang-tentang kesedihan pendaman perasaannya. Juga tentang kegalauannya karena Dito tak membalas komennya di facebook.

            Aku jadi bertanya pada hatiku sendiri. Sebenarnya aku suka Dito seperti apa dan sebesar apa sih? Setiap kali Dhiya bercerita aku biasa saja, sekarang. Kenapa aku ngga coba mengikhlaskan saja sih. Toh, aku dan Dito pun belum ada hubungan apa-apa.

            Tanpa kusangaka-sangka ternyata hari itu pun tiba. Entah kenapa diperjalanan fieldtrip kami waktu itu tiba-tiba saja tanpa bisa kutahan lidah ku membocorkan semua kisah yang selama ini ku jaga.

            “Aidaaaa! Tega lo, ya!” Tentu saja dia harus kaget dengan pernyataan ku itu. Aku tahu sedalam apa perasaannya pada Dito.

            “Ah! Tapi gue juga udah tau, kok!” Ah! Dia mengingatanku dengan kata-kata yang pernah kuucapkan dulu.

            “Yaudah, lo ambil aja dia! Tapi dia cocok kok sama, lo!” Huh! Kerelaan yang pura-pura.

            Lihat saja bagaimana dia mengalungkan tangannya dileherku mencegah ku beranjak dari tempatku semula dan meminta ku mengulang menyebutkan nama diawal pengakuan ku tadi. Tapi tentang apa yang dia katakana bahwa dia tahu kalau selama ini aku menyimpan perasaan yang sama pada Dito, aku percaya. Karena itu adalah feeling sesama wanita. Perasaan yang sama yang kurasakan saat dia dulu bercerita padaku.

            Ternyata memang benar. Semenjak hari itu perasaanku pada Dito seperti mundur teratur. Ada saja hal-hal tentang Dito yang membuatku berfikir ulang untuk menyukainya. Bukan karena aku melihat belangnya Dito. Ya, bukan dong. Tapi karena aku merasa banyak sekali sifat ku dan sifat Dito yang tak akan cocok nantinya. Yah! mungkin benar jika Dito adalah Jodohnya Dhiya.

            Pucuk demi pucuk ucapan selamat tinggal itu pun seperti gugur dari pohonku. Aku mengalah bukan karena aku tak ingin pertemanan ku rusak karena perasaan yang sama. Tapi Aku beranjak karena sadar tentang ketidak-cocokan yang telah ku temui. Lebih dari itu aku belajar menyerahkan segalanya pada sang pemilik takdir.

^***sebuah cerita buat kalian yang pernah mengalaminya***^

Selasa, 22 September 2015

Rajutan Mimpi Aku dan Dia



Siang itu kami merajut mimpi bersama. Ditempat yang suci. Tempat beribu macam doa berdengung di dalamnya.  Tempat seruanNya dikumandangkan. Dan tempat jiwa yang lelah menghadap dan memohon pertolongan kepadanya.

            Dua pohon yang tumbuh didepan bangunan suci itu semakin menambah syahdu dan khusyu’ lingkungan sekitar. Kalimat rajutan mimpi yang kami untai semoga saja terpantul pada setiap partikel doa yang berdengung disana. Sehingga Dia yang maha mendengar berkenan mengabulkan permohonan kami si pemimpi yang sangat berharap pada kemurahan dan keridhoanNya. 

            “Mit, keren ya Oki dan Rita. Habis wisuda langsung lanjut S2. Beasiswa PMDSU pula. Kuliah empat tahun langsung dapat gelar doctor, euy. Sedang kita masih disini.”

            Yah! Wajarlah jika kalimat semacam itu terlontar dibibir mahasiswa tahun lewat. Parahnya lagi ada yang menyebut dengan mahasiswa tahun expired. Sedih memang. Saat teman-teman sudah banyak yang pergi meninggalkan kampus. Sedang kita masih berkutat dengan sekian beban SKS kuliah yang harus diselesaikan. Penelitian yang tidak meunjukkan kemajuan semakin membuat hati nelangsa. Mengeluh? Yah! Orang-orang yang tak merasakan perasaan itu mungkin akan menganggap perbuatan itu seperti orang yang tak tahu agama. Seperti orang yang tak bersyukur atas karunia tuhannya. 

            Apalah mau dikata. Hati yang nelangsa tak kan mempan bila orang-orang hanya berkata, “syukuri saja apa yang sedang terjadi padamu! Bahkan kamu lebih bersyukur jika dibanding mereka yang ingin sekolah tapi tak punya biaya!”

            Huft! Mungkin hanya itu yang mereka bisa. Berharap orang-orang yang sedang merasa kurang beruntung bisa kembali bersyukur atas nikmat sang Maha Pengasih dan Pemurah.

            Meski aku bukan masuk kategori mahasiswa tahun teramat lewat tapi aku mengerti perasaannya. Sebagian besar teman-teman yang sudah melepaskan status mahasiswanya dan pergi meninggalkan kampus menyisakan perasaan sepi yang lain. Tapi aku beruntung karena seorang teman dekat masih bersamaku. Meski akan pergi sebelum aku.

            Perasaan mengerti dan mungkin perasaan yang akan merasakan hal yang sama yang membuatku hanya membalas ucapannya dengan senyuman. Lalu sambil memeluknya aku berkata, “Ka Enji, mungkin kita yang tertunda menyelesaikan studi kita ini akan tereksitasi ke tempat yang energi nya lebih tinggi. Tempat yang lebih indah yang sebenarnya memang Allah persiapkan untuk kita. Bisa jadi apa yang kita alami sekarang adalah jalan yang harus kita lalui agar kita sampai kesana. Bisa jadi mereka yang lancar-lancar saja perjalanannya itu akan tetap berada diorbitalnya sekarang. Tapi kita, semoga tereksitasi ke tempat yang lebih Indah.”

            Well, ibarat atom. Elektron dalam atom berada dilintasannya masing-masing. Elektron itu adakalanya akan mengalami eksitasi ke orbital yang tingkat energinya lebih tinggi. Agar sampai kesana membutuhkan energi yang sangat banyak agar loncatan elektron tersebut mencapai tempat tujuan yang sebenarnya.

            Semoga apa yang kami ucapakan, rasakan dan hayalkan hari itu diaminkan oleh malaikat ditempat yang suci itu. Masjid Fakultas tempat kami merajut mimpi semoga menjadi saksi dimasa nanti bahwa kami pernah menyulam mimpi bersama dibawah atapnya. Amiin.

Masjid Fakultas MIPA UNAND, 8 September 2015

Minggu, 06 September 2015

Malam narasi owop

Dia pernah berkata padaku tentang tentang perasaannya yang begitu biasa. Mngkin aku menilai dia seperti orang di bawah rata2. Entah kenapa fikiran semacam itu muncul dalam diriku. Apa karena aku terlalu menilai dia dari materi yang dia punya?

Ah! Entahlah.

Pakaiannya yang lusuh dan telapak kaki yang kadang tidak dialasi oleh sandal buruk sekali pun. Mungkin ini yang membuatku semakin menilainya sebagai orang yang dibawah rata-rata.
Kasihan? Mungkin itu yang membuatku mau menyisihkan sedikit waktu ku bersamanya. Aku juga sadar, selain waktu tak ada yg bisa ku berikan padanya.

Seperti hari-hari sebelumnya. Saat aku melewati jalan yang sama sepulang beraktifitas menuju rumah, aku selalu bertemu dengannya d sudut jalan itu. Mengais hingga dasar. Tak pedulia dengan bau busuk atau pun lalat yang mengerubunginya.

Lagi-lagi aku mencela diriku yang hanya mematung d seberang jalan memperhatikan dia. Menunggunnya hingga menyelesaikan pekerjaannya. Biarlah orang lain melihat aneh padaku yang mematung sendiri di sudut lain jalan ini.

Mungkin ini kelebihan ku. Maksud ku bukan untuk berbangga diri, ya. Hanya saja ini kesadaran yang baru kudapat sebentar ini. Kerelaan ku mendengar ceritanya yang begitu biasa, kebetahan ku menunggunya disudut jalan sepeti ini. Ini mungkin kelebihan ku. Sehingga aku bisa mengahabiskan sedikit waktu mu bersama dia.

Mata ku tak henti memandanginya dari seberang jalan. Satu demi satu, setiap benda yang dia loncatkan keluar tak lepas dari pengamantanku. Dan, sudah beberapa hari ini membuatku bertanya-tanya sendiri. Bahkan dari sebagian besar benda yang di kumpulkannya tidak bisa dihargai dengan rupiah, bahkan sepeser pun.

Mungkin lebih setengah jam aku mematung di seberang jalan sampai dia benar2 menyelesaikan rutinitasnya. Ketika dia sudah berjalan menuju tempat dia beristirahat biasanya, aku pun memacu langkah ku. Berusaha menyamai langkahnya.

Tapi sungguh! Dia semakin aneh saja semenjak seminggu ini. Dan hari ini pun juga, keanehannya semakin menjadi-jadi.

Dari persimpangan tempat dia bekerja tadi, dia tidak berjalan menyusuri persimpangan menuju rumahnya, jika tempat itu bisa dikatakan rumah. Hari ini dia menyusuri jalan dengan arah yang berlwanan. Sengaja aku menperlambat langkah ku agar dia tidak tahu aku mengikutinya.
Sampai di ujung jalan beraspal, dia menyusuri jalan setapak. Jalan itu sepertinya sama sekali belum terjamah oleh yang lain.

Lagi-lagi, aku sabar mengikutinya dari belakang. Menahan diri ku untuk memanggilnya atau pun sekedar membuat suara. Tanpa kusangka, aku semakin dibuat takjub oleh pemandangan yang ku dapatkan setelah menyusuri jalan setapak dlam diam bersamanya.

Jika dikota ini disepanjaang jalan yg melintasi sungai hanya tampak kotornya airnya dan bau busuk yang menguar ke udara, tapi aku tak menemukan itu disini. Air sungai yang kulihat disini masih bisa dikatakan bersih jika dibandingkan dengan sungai yang kusebut tadi. Pemandangan yang terhampar juga sangat indah. Pohon yang rindang semakin membuat tempat itu bak surga di tengah semrautnya kota ini.

Dari tempat ini aku juga bisa memandang deretan gedung2 tinggi yang berdiri angkuh diseberang sana. Namun, ada yang lebih membuat ku takjub dari sekedar pemandangan itu. Ssorang gadis kecil dengan rambut berkepang dua sedang menyusun sampah2 yan g berbentuk balok d atas sebuah meja. Satu demi satu. Begitu hati-hati gadis kecil itu menepatkan balok berikutnya dan barikutnya. Dan aku tak menyangka jika ternyata sampaah yang tak bisa dijual itu dia kumpulkan untuk sigadis kecil yang hendak membangun gedngnya sendiri.

"Kak, puncaknya masih kurang tinggi deh. Belum samaa tinggi sama gedung seberang!" Kata si gadis kecil pada bocah laki-laki yang kuikuti tadi.

"Oke, kakak bntu nambah baloknya, ya. Biar gedung kita mengalahkan tinggu gedung itu!"

"Asik!" Kata si gadis kecil kegirangan.

Setelah meletakkan karung dari pangkuannya, bocah laki-laki itu pun mengambil sejumlah sampah yang menyerupai balok dari dalam karung. Pohon yang perkasa itu pun dipanjatnya sebagai pengganti tangga baginya.

Pemandangan yang sungguh menularkan semacam energi lain pada diriku. Tanpa sadar aku mengambil handphone dari dalam saku dan mengabadikan momen indah ini. Momen yang berharga yang mampu membuatku meneteskan air mata.

"Kak misa! Sejak kapan kakak ada di situ?" Bocah laki-laki itu ternyata menyadari keberaaan ku.

"Mmm..sejak kapan ya?" Sengaja aku tak langsung menjawab pertanyaannya.

"Jadi ini kalian yang bikin? Luar biasa sekali!" Sengaja aku menguhkan kembali perhatian mereka ke bangunan yang sedang mereka bangun. Aku tak ingin bangunan itu hancur hanya karena mereka menyadari kehadiran ku. Selain itu, aku lebih ingin melihat bentuk akhir bangunan yang mereka bangun.

"Bukan kami, kak. Tapi adek yang rancang bangunan ini dari awal. Aku cuma bantu2 dia aja!"

Taulah aku, ternyata si bocah kecil ternyata memiliki seorang adik kecil yang manis dan pintar. Pekerjaan yang dia lakukan ternyata semata untuk adik semata wayangnya. Satu2nya keluarga yang dia punya setelah bencana merenggut keluarganya yang lain.

"Nanti aku mau bikin gedung yang lebih bagus dari gedung itu!" Kata si gadis kecil sambil menunjuk ke seberang sana. Mata mungilnya terlhat sangat berbinar saat dia mengucapkan itu.

Rindu

Aku rindu.

Lirih ku bisikkan kata itu pada langit biru d atas sana.

Ranting kering yang telah ditinggalkan daunnya membuat rasa rindu ini semakin dalam menjalari jiwaku.

Hatiku serasa dipelintir, dibekap, membuatku merasa ngilu dan sesak sendiri.

Ah! Bahkan alam siang ini seperti membiarkan dia menari dalam ingatanku