Minggu, 27 Desember 2015

AKU BUKAN MUTIARA

Aku biasa,
Sebiasa jutaan kata yang tak mampu terucap.

Aku biasa,
jauh dari kata sempurna.
Yang tak mampu terlihat indah dimata,
Matamu, matanya, dan mata mereka.

Aku bukan berlian apalagi mutiara
Aku hanya sebutir pasir di pantai sana
Terinjak dan kadang diterbangkan angin
Dihanyutkan ombak, terguling dan terhempas.

Pasrah pada takdir.
Menyerah pada alam.
Berharap akan seekor kerang
Mau melahap aku sang pasir
Dan merubahku menjadi mutiara.

Hanya itu,
Sebiasa itu harapku.
Meski kadang harapku yang sederhana
Terlihat angkuh dimatamu.

Maafkan
jika harapku
Membuatmu terluka.

Maafkan,
Jika harapku yang sederhana
Tidak mampu membuatmu bangga.

Karena inilah aku
Apa adanya
Biasa
Sebiasa inginku,
yang sangat, sangat-sangat sederhana.

Padang, 28 Des 2015

Rabu, 21 Oktober 2015

Ini bukan kutukan, ini cinta

#CanberaEuy oleh 15 peserta ☺
#owop

Malam ini adalah malam Rabu. Malam yang sama dimana lagi-lagi hanya suara jangkrik yang menemani. Angin begitu sampai hati menusuk ke dalam diri. Dan lihatlah, seorang Putri nan elok parasnya tengah menatap keluar jendela kastil dengan penuh harap.

Putri Anis melemparkan pandangnya jauh. Ia masih berfikir tentang kejadian sore tadi. Putri Anis bertemu dengannya. Dia yang ada di masa lalu Putri Anis. Mungkin masih ada pula di hatinya kini. Uways. Dia hanya masyarakat biasa yang membuatnya tidak bisa tidur cepat tiap malam. Setidaknya sebulan ini.

Sesak yang dirasa Putri Anis, tiap kali teringat nama itu. Bagaimana tidak? Seorang pemuda kampung yang sombong dan belagu, beraninya dia menantang seorang putri sekelas Puttri Anis. Putri yang cantik dan cerdas itu berjanji akan mempermalukan pemuda sombong itu

putri anis memegang pinggiran jendela itu kuat. Kepala dikeluarkannya keluar dia berteriak lantang...
"DASAR LAKI-LAKI SIALAAAAAN....!!!.
urat leher putri anis menegang, suaranya menggema melayang. Namun tiba-tiba tanpa disadarinya....

"Tuan putri." Tiba-tiba muncul suara. Putri Anis seketika menoleh ke belakang.

"Kau mengagetkanku, dayang Han."

"Maafkan saya, putri. Tapi saya sudah membawa apa yang anda minta."

Dayang Han menyerahkan sebuah bungkusan besar. Putri Anis membuka bungkusan tersebut, ternyata berisi kaki kiri dan tangan kanan Uways.

"Bagus. Dengan ini dia pasti malu karena cacat." Ujar Putri Anis sambil tersenyum menyeringai. Kemudian, Putri Anis memakan potongan tubuh tersebut dengan lahap.

Tapi di suapan ketiga tiba-tiba putri Anis memikirkan Uways. Dia sosok yang pernah singgah di hatinya. Lantas, mengapa dia sendiri yang membuat Uways menderita dengan membuat Uways cacat seperti ini. Putri Anis hampir kehilangan selera makannya. Tapi, sakit hatinya kembali muncul menyergap suasana hati putri Anis.

"Ah, sudahlah bukankah dia juga yang menyakiti hatiku." Ujar putri Anis dalam hati. Putri Anis mendadak andilau (antara dilema dan galau), haruskah putri Anis kembali menyantap hidangan kaki Uways? Namun perasaannya bergejolak seolah tak tentu ingin apa.

"Ohh...uways, berhentilah hinggap di pikiranku, kau bukan burung yang harus hinggap di sana" pekiknya pada diri sendiri.

Tiba tiba dari balik pintu sang raja gagah perkasa penguasa negri owop datang menghampiri putrinya yg menghentikan kunyahan nya.
"Putriku ingatlah rasa benci bisa menjadi benar-benar cinta" ayah samg putri menggenggam bahu putri anis yang mulai berhenti mengunyah,dan menyimpan sisa tulang dengan tak berselera.
Oh....uways kenapa takdir mengubah perasaan benci ini menjadi samar-samar berwujud cinta?
Ada benarnya juga perkataan ayah nya .Putri menatap lagi jendela,memandang lembayung yang menyapa senja bersama bayangan pemuda berhati baja bernamakan uways...

Hati dan pikiran putri Anis sempurna diliputi sosok pemuda itu. Apakah Uways merasa sakit saat ini? Kaki dan tangannya kini terhidang di hadapannya. Betapa kejamnya dirinya ! Batinnya menyadari. Di tengah pertarungannya dengan nurani, suara perutnya menyela.

Grooookkk

Lapar bukan kepalang.
Kegalauan berkepanjangan membuat rasa laparnya tak bisa ditahan akhir2 ini. Berat badannya naik drastis. Pipinya membulat dan lingkar perutnya bertambah lebar karena terlalu banyak makan.
Uwaaaaayyyysss . Pemuda itu membuat putri cantik jelita ini berubah tambun dalam beberapa minggu saja.
Kebencian putri Anis pada Uways muncul lagi.

Bersamaan dengan itu Dayang Han membawa semangkuk sup, dari bahan yang sama. Sup kaki Uways.

"Silakan Tuan Putri, yang ini sudah diracik menjadi sup"

Air liur Putri Anis meleleh. Aroma kaldu begitu menggugah selera. Mungkin yang sudah dimasak lebih lezat rasanya.

 "Ah, peduli apa dengan pemuda arogan itu. Badanku jadi gendut dicampakkan olehnya. Kumakan habis saja hidangan ini. Siapa yang meragukan keahlian masak Dayang Han? Pasti enak. Dia koki kerajaan yang handal." Batinnya sambil menyantap, antara lahap dan kalap.

"Dayaang Haan, apakah di panci masih ada? Kalau masih ada coba delivery makanan ini ke pondok Uways. Dia harus coba jari-jarinya ternyata gurih sekali dibuat sop begini. Ah ya, mungkin untuknya perlu dikasih merica lagi. Hasil stalker sosmednya selama ini ku tahu dia pecinta makanan pedas. Tiap malam ngemil keripik maicih"

Titah Sang putri sambil menyeruput kuah sop terakhir di mangkuknya.

Dan akhirnya sop itu sampai ke pondok Uways. dengan senang hati dan penuh kebahagiaan Uways menerimanya.
"Dari mana?"
"dari Putri Anis, Daeng Uways." kata mbok Ken sambil meletakkan sopnya dihadapan daeng Uways.
"Sampaikan ucapan terima kasihku pada Putri Anis, sungguh mulia hatinya ingin membagi makanannya kepadaku."

Uways menitikkan air matanya. terharu dengan kebaikan Putri Anis.
"kenapa menangis, Daeng?"
"Aku. bahagia, Mbok Ken. ternyata bukan hanya wajahnya yang cantik nan menawan, tapi hatinya pun ternyata cantik nan halus sehalus sutera."
Mbok Ken, tidak bisa berkata apa - apa. hatinya sakit melihat keadaan Daeng Uways, hingga akhirnya meninggalkannya sendiri bersama dengan sop itu.

Uways dengan penasaran teramat sangat mencoba membuka kotak tupperware itu dengan mulutnya dengan keadaan kedua tangannya yg buntung.
saat tutupannya terbuka,
"wah... sedap euy,"
Uwaiys girang bukan kepalang mencelupkan kepalanya kedalam tupperware itu dan melahap sopnya...

"untuk pertama kalinya Saya menyantap makanan yg lezat " gumamnya dalam hati.

Ternyata Sup yg enak ini bisa membuat org mengatakan hal yg jujur dan tak bisa bohong.

Tiba-tiba, sebuah keanehan terjadi. Keesokan harinya, terdengar teriakan melengking keras dari istana Putri Anis. Semua warga terkejut dengan teriakan di pagi buta itu. Mereka tergopoh-gopoh keluar dari rumah masing-masing menuju istana. Memastikan apa yang terjadi.

Benar saja, teriakan tadi adalah suara Putri Anis sendiri. Ia histeris ketika mendapati bagian tubuhnya ada yang hilang. Dan yang lebih membuatnya terkejut, bagian tubuhnya yang hilang adalah kaki kiri dan tangan kanan!

"Oh tidak! Tuan Putri, bagaimana ini bisa terjadi?!" teriak Dayang Han yang ikut histeris.


Sementara itu, Uways yang juga mendengar suara teriakan yang amat dikenalinya itu, serta merta berlari menuju istana. Ia teringat akan kebaikan Putri Anis yang telah memberikannya sup tadi malam. Dan kini, Uways mulai mengkhawatirkan Putri. Ada apakah gerangan dengan sosok yang diam-diam mulai bertahta di dalam hatinya?

Namun, di tengah jalan, langkah Uways tiba-tiba terhenti. Ia baru menyadari suatu hal yang lebih membuatnya terkejut.

Ya, kaki kirinya utuh. Menyatu sempurna seperti sedia kala. Kepanikannya atas Putri Anis membuatnya terlambat menyadari. Bahwa kini, anggota tubuhnya telah lengkap. Utuh seperti semula.

"Bagaimana mungkin?" batinnya

"Ah! Tidak penting apa yang terjadi padaku. Bagiku putri Anis lebih penting dari segalanya sekarang!"  Batin daeng uways lagi.

Sekuat tenaga ia kerahkan untuk berlari menuju istana putri Anis. Daeng Uways sangat khawatir.  Dia takut kalau-kalau terjadi hal buruk pada putri Anis. Sepanjang perjalanan itu, hati Daeng Uways tak lepas akan doa keselamatan untuk putri Anis, wanita yang saat ini tengah memenuhi hatinya.

Sesampainya di istana, ketika hendak menemui putri anis, pengawal istana dengan peralatan keamanan lengkap menahan Daeng Uways dan melarang menemui putri Anis. Mendapat perlakuan seperti itu ia sangat sakit hati. Berbagai macam cara dia coba untuk menerobos pos keamanan tersebut. Hingga akhirnya Daeng uways pun berhasil sampai di depan pintu kamar putri Anis. Dia sangat senang karena saat itu dia bertemu dengan mbok kenti yang tempo hari telah mengantarkan sop lezat dari putri Anis khusus buat dia.

"Mbok! " Daeng Uways memanggil mbok kenti. Dia berharap dengan adanya mbok kenti dia  bisa lebih mudah untuk bertemu dengan putri anis.

Melihat Daeng Uways yang berjalan mendekatinya dengan keadaan utuh sungguh membuat mbok kenti terkejut. Namun keterkejutannya itu bukan apa-apa dibandingkan dengan kekhawatiran terhadap putri anis jika sang putri tahu bahwa Daeng uways datang mengunjunginya. Apalagi dengan keadaan utuh tanpa kurang satu apapun.

"Mbok, saya sungguh khawatir pada putri anis. jadi saya mohon pada mbok kenti untuk menolong saya agar saya bisa bertemu dengan putri anis!" Daeng uways memohon.
Mbok kenti tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Dia hanya memandang Daeng uways dengan seribu ekspresi wajah yang sulit sekali ditafsirkan. Lalu dengan tatapanny mbok kenti memberi isyarat pada daeng uways untuk menunggu di luar kamar dan meminta persetujuan putri anis terlebih dulu.

Tidak berapa lama setelah mbok kenti masuk ke dalam kamar putri anis, terdengar suara gelas pecah. Dari suaranya sangat jelas sekali bahwa gelas tersebut sengaja dilempar ke dinding  sebagai pelampiasan amarah sang tuan. Selang tak berapa lama terdengar teriakan, "Usir dia! Aku tak ingin melihat wajahnya! Jika dia ingin menertawakan keadaanku sekarang, dia tidak perlu jauh-jauh datang ke istana dengan keadaannya yang buntung itu! Katakan padanya untuk tidak sok bersikap simpati! Karena aku tau itu hanya topeng yang sengaja dia gunakan untuk balas dendam padaku yang telah membuat dia cacat  semur hidup!"

Mbok Ken pun keluar dari kamar Sang Putri dengan perasaan campur aduk. Seperti menunggu Sang Isteri melahirkan, Daeng Uways segera bangkit dari kursi di ruang tunggu depan kamar putri begitu melihat Mbok Ken muncul.

"Bagaimana, Mbok? Ia tidak apa-apa kan? Ia mau menemuiku kan?"

Melihat wajah penuh harap itu, semakin karut marutlah Mbok Ken.

"Maaf anak muda. Ia sedang bersedih.. ia.."
"Ada apa, Mbok?" Daeng Uways semakin penasaran dan diceritakanlah semua rahasia dan derita.

Daeng Uways mengerti. Ia pulang dan segera mencari apa yang harus ia cari.

"Itu hanyalah kutukan! Kutukan cinta yang teramat besar." Daeng Uways berguman sembari menyiapkan keberangkatannya mencari Peri Mitsa. Peri dari Utara yang tinggal di dalam gua, yang dipercaya mampu mengobati kutukan sebab cinta.

Berhari-hari. Hujan dan badai dilewati. Segala rintangan ditempuh Sang Uways. Dan bertemulah ia dengan si Peri. Peri yang berwujud gadis manis tak kalah cantik dengan Sang Putri.

Setelah semua diceritakan, sulit bagi Peri Mitsa untuk memutuskan. Kodratnya memang mestilah membantu manusia seperti Uways. Tapi bila sampai pada bantuan seperti ini, ia tahu kekuatan sihirnya saja tak cukup.

Ia harus pula mengorbankan dirinya...

Tapi siapalah Uways? Bagaimana mungkin Peri Mitsa sebaik itu? Menyerahkan jiwa atas nama cinta? Cinta dua insan yang bahkan tak sepercik pun pernah Peri Mitsa rasakan.

Baginya, mencintai orang lain adalah wujud dari mencintai diri sendiri.

Dan lagi-lagi ia bukanlah makhluk dengan cinta. Kalaupun harus membantu, itu hanyalah tugas peri dalam dirinya.

Mengetahui kebimbangan Peri, Daeng Uways lemas. Ia bingung harua berbuat apalagi untuk Sang Putri. Daeng Uways pun tak sampai hati memaksa Peri. Dan ia mencoba melepaskan, merelakan apapun keputusan peri.

Menyadari kebaikan hati seorang bujang kampung seperti Uways. Hati perempuan mana yang tak tersentuh termasuk bagi peri sekalipun. Maka dengan mantap, "Baiklah, Daeng. Aku akan membantumu.."

Terdengar suara musik dengan ritme cepat penuh semangat.

Peri Mitsa memulai kemampuannya dalam  meracik obat untuk Sang Putri. Siang dan malam ia jabani, pun  Uways dengan sigap membantu apa yang dibutuhkan.

Sampai akhirnya jadilah si ramuan tersebut. Yang dipercaya dapat mengutuhkan kembali wujud Putri Anis.
Girang bukan main Sang Uways. Dengan mengucap terima kasih berkali-kali, berlarilah ia menuju istana putri. Segera diberikan pada Mbok Ken yang tengah menunggu dalam diam.

Namun sayang, kegembiraan itu agaknya membuat Peri Mitsa merasakan keperihan. Bagi fisiknya, dan hatinya.

Peri Mitsa lemas. Fisiknya melemah. Kulitnya mulai keriput. Hatinya pun perih.

"Oh Uways, begitukah kebahagiaan yang dirasakan sang pemabuk cinta? Mengapa aku bahkan tak berhak untuk merasakan? Oh memang inilah nasibku. Ajalku segera tiba."

Peri Mitsa menyiapkan semuanya. Menghibahkan barang-barangnya. Dan mulai merebahkan diri di bawah pohon rindang di belakang pondoknya.

"Duhai, kalaupun aku harus mati. Aku ingin kembali dengan tenang. Tak perlulah emas dan perak kubawa. Tak perlulah wajah cantik menyertai. Aku bahagia dengan diriku. Dan mungkin, inilah perasaan cinta itu. Ikhlas, rela, bahagia atas orang lain.."


Di tempat lain, Putri Anis girang bukan kepalang melihat dirinya kembali utuh dalam bayang cermin setelah meminum ramuan itu. Meski dengan rasa sebal, harus ia akui bahwa Uwayslah penyelamatnya, jawaban atas do'a-do'a panjangnya. Ia tersenyum.

Uways pun bahagia melihat Putri bahagia. Namun ia teringat pada gadis manis di pondok utara. Peri Mitsa.. apa kabar? Dan sekonyong-konyong bangkitlah kesadarannya. Uways segera berlari dan berlari, menerobos apa saja bahkan kehadiran Putri Anis yang tampak manis. Tujuannya hanya satu, pondok itu.

"Mitsa! Mitsa! Peri Mitsa! Dimana kau?" Teriaknya khawatir.
"Mitsa?"

Lihatlah disana Sang Peri terbujur kaku. Manis senyumnya, cerah wajahnya membuat siapa saja yang melihat begitu terharu.

"Daeng.." perlahan suara itu menyapa
"Mitsa! Kau?"
"Jemputlah kebahagiaanmu, Daeng.. sekarang aku akan pergi"
"Mitsa, tapi. Oh Peri.." air mata hampir menetes.
"Dia sungguh manis ya? Cantik. Pantas saja kau rela berkorban." Ujar Peri setaya menunjuk belakang Daeng Uways dengan tatapannya. Uways menoleh.
"Ah, Putri? Bagaimana kau?"

"Jadi ini Peri Utara? Kau yang telah membantuku. Terima kasih Peri.." meski agak cemburu, Putri Anis tetap berusaha normal. Dan peri hanya tersenyum sembari menutup mata.

"Mitsa!"
"Mitsa!"

"Tolong jangan teriak-teriak, Daeng.. aku ingin tenang.. biarkan aku pergi. Aku bahagia.. atas nama cinta.."

Kembali menutup mata. Uways mencoba tenang, Putri Anis mulai iba.

"Gadia baik." Begitu katanya.

"Hiduplah dengan bahagia, Putri.. bersama pangeranmu.. selamat tinggal..." dan lepaslah seluruh napas itu. Menyatu dengan udara sekitar. Memaksa tubuh Peri Mitsa perlahan melebur, mengurai menjadi ratusan kupu-kupu kecil nan cantik.

"Mitsa.." itu kata Uways
"Peri.." ini kata Putri

"Selamat jalan. Sampai jumpa.." ucap mereka berdua.

Kupu-kupu yang indah. Mereka menemani langkah gontai Sang Putri dan Sang Uways menuju istana. Meski bersedih, namun kebahagiaan itu kentara sekali.

"Ternyata ini bukan kutukan, Putri.. ini anugerah.."

Dan, berbahagialah hidup mereka dalam istana megah. Dari pengalaman itu mereka banyak belajar. Bahwa tak selamanya selingkuh itu indah *eh

Sekian dan terima kasih..

Tak perlu sok memahami

aku capek, guys..
Disaat semangat yang ku punya dipertanyakan lagi..
Disaat aku mulai mengukuhkan tegakku disini, tapi apa yang mereka ucapkan membuatku goyah kembali. Tapi kau tau, dia atau mereka sama sekali tak memberikan solusi untuk mengembalikan semangatku..

Aku bosan jika selalu saja ini yang membuatku menangis. Entah sudah berapa liter air mata yang ku tumpahkan untuk melampiaskan segala resahku. Sembab wajah yang terlihat setiap kali aku bangun tidur tidak lagi menjadi hal yang patut dipertanyakan.

Rasanya aku ingin istirahat dari semua lelah yang ku rasa. Tapi lagi-lagi aku terpikir tentang sebuah nilai harga diri yang terlempar jika aku berhenti dari sini. Teriakan, cacian, makian, aku benci dengan itu semua.  Aku sudah lelah dengan itu semua. Aku ingin mereka berhenti saja bicara, mempertanyakan segala hal yang harus aku prioritaskan. Hanya itu yang mereka bisa! Kalian, tau!

Tak pernah sekalipun merek menyemangati ku yang tengah kelelahan ini. Mereka bilang mereka mengerti keadaanku. Omong kosong! Sama sekali mereka tak paham dengan apa yang kurasa!  Mereka hanya paham pada hal yang perlu mereka ucapkan padaku. Mereka hanya paham bahwa aku harus mendengarkan setiap kata yang mereka ucapkan kan.

Aku tau kalian pun tak  paham dengan segala hal yang ku katakan sekarang. Tak apa, guys. Setidaknya kalian mau mendengarkan keluhku saja, sudah cukup bagiku.

Kamis, 01 Oktober 2015

Episode 1: Ombak yang menghardik



Jika saja petugas tak pengertian itu tak menyuruhku beranjak mungkin aku tak akan seperti orang gila ini sekarang. Berjalan tanpa arah menjauhi stasiun tanpa tujuan yang jelas. Hempasan ombak yang terdengar tidak jauh dari tempat kereta berhenti terdengar mengerikan ditelingaku. Lebih terdengar seperti hardikan menyuruhku kembali. 

Aku benar-benar tidak tahu kemana harus menuju. Keinginan menghilang, beberapa jam yang lalu terasa begitu lantang menabuh otak dan perasaanku seakan hilang seketika. Ditambah dengan perut keroncong dan uang dalam saku, yang aku tidak tahu apakah cukup atau tidak untuk sarapanku pagi ini dan membeli tiket kembali, semakin menciutkan nyali. Baju asal jadi dan sandal jepit yang kugunakan membut aku tak ingin bertemu siapa pun yang mengenalku. Sempurna, aku seperti seorang gembel tak tentu arah di kota keliharan sendiri.

Di gerbang stasiun aku berhenti sejanak. Melengok kiri kanan depan belakang. Mencari petunjuk arah kemana kaki harus ku langkahkan. Di depan stasiun, lalu lalang kendaraan dan orang berjalan kaki disekitar pasar untuk berbelanja perlengkapan dapur ataupun sekedar singgah membeli menu sarapan ikut menggiurkan ku untuk berjalan mendekati mereka. Perut keroncong ku pun seperti menyemangati ku berjalan lurus kedepan. Tapi tangan yang merogoh saku jaketku membuatku ragu melangkah karena jari-jariku hanya bisa menggapai recehan yang tak seberapa jumlahnya. Aku semakin merasa malu sendiri. Dunia seakan sedang menertawakan ku dan memandang sinis padaku. 

“Lihat! Susah sendiri kan Lo! Katanya mau kabur! Udah jauh dari rumah keingat pulang! Kasihan banget sih!” Bisikan itu terdengar sangat menggelegar. Seperti petir yang menyambar membuat seluruh tubuhku merinding.

Aku semakin serasa ingin menangis saat teringat menjadi gembel di kota kelahiran sendiri. Tempat aku biasa bermain sepulang sekolah dulu. Tempat yang aku telah hapal setiap sudutnya. Tapi sekarang aku merasa seperti orang asing. Atau tepatnya aku yang ingin menjadikan diriku asing disini karena kebodohan ku sendiri.

Pagi-pagi setelah subuh tanpa sepengetahuan siapa pun dirumah, aku pergi tanpa arah dan tujuan. Bahkan aku lebih memilih melompati pagar rumah karena tak ingin suara gesekan pagar memberi tahu semua orang bahwa ada yang meninggalkan rumah. Aku pun tak ingat untuk mengganti baju tidurku dengan baju yang sedikit pantas atau pun menggunakan sepatu supaya aku tak terlihat seperti pengemis. Semuanya tak terpikirkan olehku karena dari awal aku tak punya niat untuk pergi sampai sejauh ini. Tapi beban masalah yang sungguh membuatku depresi ternyata tak bisa ku hilangkan dengan sekedar berjalan pagi disekeliling komplek. Hah! Tapi apa mau dikata sekarang? Aku sudah terlalu jauh melangkah. Ponsel yang bisa kugunakan untuk bisa menghubungi teman sekolahku di kota ini pun tak kubawa. Semakin terdamparlah aku di kota yang tak asing ini.

Rumah saudara dan kerabat sebenarnya banyak yang bisa kusinggahi. Bukan hanya makan pagi saja yang bisa ku dapatkan disana. Uang saku untuk beberapa hari pun bisa kudapatkan. Tapi? Hah! Harga diriku terlalu tinggi untuk sekedar meminta seperti itu. Apalagi jika seandainya mereka tahu bahwa aku pergi diam-diam dari rumah. Dugaan-dugaan yang bisa membuat nama baik keluarga ku buruk dimata keluarga lain tak akan bisa ku hindari. Dan kewarasan ku yang tersisas tak ingin itu terjadi.

”Allah! Aku hanya ingin menenangkan diri ku sesaat di kota ini. Aku tak berniat untuk lari selamanya. Aku hanya ingin berfikir sejenak Ya, Allah!”

Lidah ku kelu menyebut namaNya.

>>> to be continued

Minggu, 27 September 2015

Mengalah

“Gue udah istokhoroh dan lo tau apa jawaban istikhoroh gue itu?” Ceritanya malam itu ketika aku bermalam dirumahnya. Entah kenapa sepanjang dia bercerita ada sebersit perasaan cemburu yang bergelora didadaku. Lelaki yang belum dia sebutkan namanya itu benar-benar tidak membuatku tenang.

            “Hati gue semakin merasa condong sama dia, Ai!”

            Dia terus bercerita tentang pendaman perasaannya. Sementara aku, mendengar tapi sibuk dengan pikiran dan dugaan-dugaan yang benar-benar membuat hatiku ngilu sendiri. Bagaimana kalau seandainya orang yang sama? Ah! Kenapa hatiku seperti tak rela sih. Padahal Dhiya sendiri belum mengatakan siapa nama orang itu? Tapi kalau benar dia bagaimana? Haaah! Tapi kan aku yang suka dia duluan? Kenapa sih harus lelaki itu juga?

            Hatiku sibuk menceracau sendiri. Perasaan tak rela ini benar-benar menyusahkan ku. Untung saja saat itu ruangan kamar yang gelap membuatku bebas membuat ekspresi apa pun diwajahku tanpa dia ketahui. Aku juga tak berani mengatakan langsung tebakan ku tentang nama lelaki yang dia ceritakan. Bayangan kata iya yang akan diberikan di ujung pertanyaan ku nanti sungguh tak membuatku tenang. Aku jelas tidak siap untuk mendengar jawaban itu. 

            “Kadang gue merasa menyesal udah istikhoroh, lo tau ngga? Gue juga kadang tak merasa yakin jika dia bakal suka sama gue juga. Gue aja masih kaya gini sedangkan dia orangnya taat seperti itu!”
             
Aku menatap lurus langit-langit kamar yang gelap. Kernyitan dahi yang terus berubah-ubah. Decakan bibir yang tertahan dan tak mampu ku keluarkan. Kondisi itu benar-benar membuatku berfikir bagaimana jika ternyata kami benar-benar menyukai orang yang sama?

            Aku memang yang suka dia duluan. Lalu apa? Kalau dia jodohnya sama Dhiya gimana? Lo ngga rela? Yang benar aja?! Masa lo bakal meratapi orang yang tak akan pernah lo miliki? Hah! Tapi kan belum terjadi! Tapi kalo ternyata dia bukan jodoh lo gimana? Lo bakal ikhlas apa engga? Lagian lelaki itu juga belum tahu tentang perasaan lo sama dia, kan? Terus, berarti lo jadi saingan sama teman sendiri dong?

            Ah! Aku kesal sendiri pada diriku yang semakin memperjelas kondisiku. Kalimat-kalimat yang terbersit terasa seakan menyudutkanku.

            “Ngga ada yang ngga mungkin bagi Allah kali, Dhiy. Kenapa lo ga lanjut tukeran proposal aja sama dia? Siapa tahu dia beneran jodoh Lo.”

            Serius. Itu adalah kalimat yang tulus ku ucapkan dari hatiku. Bukan karena merasa yakin aku yang akan memenangkan hati si arjuna, tapi aku hanya belajar menyerahkan semuanya pada takdir. Meskipun aku benar-benar yakin kalau orang yang dia ceritakan adalah sama dengan orang yang ku fikirkan. Tapi aku sadar bahwa aku tak punya hak untuk melarang seseorang untuk menyukai seseorang yang lainnya. Jika pun kami terperangkap lingkaran perasaan pada orang yang sama, biarkan takdir yang menjawabnya. Malam itu aku belajar untuk mengalah dan mnyerahkan semuanya pada takdir.

            Malam itu pun berlalu. Hari-hari berikutnya dia masih bercerita padaku tentang perasaannya. Sesekali dia juga bertanya tentang orang yang ku suka. Tapi, sedapat mungkin aku berkilah dan tak ingin dia tahu tentang kisahku sendiri.
            Ya. Dhiya memang temanku. Bukannya aku tak percaya untuk menceritakan kisahku sendiri padanya. Tapi aku hanya ingin menemukan waktu yang tepat untuk bercerita.

            Hari-hari pun tetap melaju. Sesekali obrolan kami saat bertemu masih seputar tentang pendaman perasaan dirinya pada mister X yang membelenggu hatinya. Dan suatu hari tanpa aku minta dia menyebutkan sendiri nama sang pujaan hati. 

            “Dito. Orang yang selama ini gue ceritain ke elo itu Dito, Ai.”

            “Hm..Gue udah tau kok kalau itu Dito.” Jawabku datar.

            Ada nada tak percaya dari pertanyaan dia selanjutnya padaku. Seolah-olah apa yang aku ucapankan adalah olok-olokan untuk mempermainkannya.

            “Lo tau dari mana?”

            “Gue udah tau dari semenjak lo cerita ke gue waktu gue nginap di rumah lo hari itu!”

            “Ah! Ga percaya gue! Kok bisa? Lo nebaknya dari apa?”

            “Yah! Gue tau aja!”

            Aku tak bisa menjawabnya denga jawaban feeling sesama wanita. Karena itu artinya aku membongkar kisahku sendiri. Aku tak ingin cerita bahwa aku adalah orang yang menyukai Dito dua tahun labih dulu daripada dia. Sebelum dia kenal Dito aku sudah kenal duluan. Dan aku suka pada pandangan pertama.

            Aku tak ingin menceritakan cerita mellow gila itu padanya. Biarlah kisah ini akan terungkap pada waktu aku siap bercerita. Pada saat aku benar-benar merasa yakin bahwa aku bisa menyerahkan semua ketentuan akhir cerita pada sang pemilik takdir. Lagi pula aku tak ingin mengatakan bahwa dia adalah saingaku dan aku saingannya.

***

            Beberapa bulan berlalu. Cerita Dhiya tentang Dito masih tetap mengalir diwaktu-waktu kami bertemu. Aku semakin tahu seberapa mendalamnya perasaan Dhiya pada Dito. Tentang kegalauannya yang tak merasa yakin bersanding dengan Dito. Tentang Dito seperti orang yang tak tergapai olehnya. Dan tentang-tentang kesedihan pendaman perasaannya. Juga tentang kegalauannya karena Dito tak membalas komennya di facebook.

            Aku jadi bertanya pada hatiku sendiri. Sebenarnya aku suka Dito seperti apa dan sebesar apa sih? Setiap kali Dhiya bercerita aku biasa saja, sekarang. Kenapa aku ngga coba mengikhlaskan saja sih. Toh, aku dan Dito pun belum ada hubungan apa-apa.

            Tanpa kusangaka-sangka ternyata hari itu pun tiba. Entah kenapa diperjalanan fieldtrip kami waktu itu tiba-tiba saja tanpa bisa kutahan lidah ku membocorkan semua kisah yang selama ini ku jaga.

            “Aidaaaa! Tega lo, ya!” Tentu saja dia harus kaget dengan pernyataan ku itu. Aku tahu sedalam apa perasaannya pada Dito.

            “Ah! Tapi gue juga udah tau, kok!” Ah! Dia mengingatanku dengan kata-kata yang pernah kuucapkan dulu.

            “Yaudah, lo ambil aja dia! Tapi dia cocok kok sama, lo!” Huh! Kerelaan yang pura-pura.

            Lihat saja bagaimana dia mengalungkan tangannya dileherku mencegah ku beranjak dari tempatku semula dan meminta ku mengulang menyebutkan nama diawal pengakuan ku tadi. Tapi tentang apa yang dia katakana bahwa dia tahu kalau selama ini aku menyimpan perasaan yang sama pada Dito, aku percaya. Karena itu adalah feeling sesama wanita. Perasaan yang sama yang kurasakan saat dia dulu bercerita padaku.

            Ternyata memang benar. Semenjak hari itu perasaanku pada Dito seperti mundur teratur. Ada saja hal-hal tentang Dito yang membuatku berfikir ulang untuk menyukainya. Bukan karena aku melihat belangnya Dito. Ya, bukan dong. Tapi karena aku merasa banyak sekali sifat ku dan sifat Dito yang tak akan cocok nantinya. Yah! mungkin benar jika Dito adalah Jodohnya Dhiya.

            Pucuk demi pucuk ucapan selamat tinggal itu pun seperti gugur dari pohonku. Aku mengalah bukan karena aku tak ingin pertemanan ku rusak karena perasaan yang sama. Tapi Aku beranjak karena sadar tentang ketidak-cocokan yang telah ku temui. Lebih dari itu aku belajar menyerahkan segalanya pada sang pemilik takdir.

^***sebuah cerita buat kalian yang pernah mengalaminya***^

Selasa, 22 September 2015

Rajutan Mimpi Aku dan Dia



Siang itu kami merajut mimpi bersama. Ditempat yang suci. Tempat beribu macam doa berdengung di dalamnya.  Tempat seruanNya dikumandangkan. Dan tempat jiwa yang lelah menghadap dan memohon pertolongan kepadanya.

            Dua pohon yang tumbuh didepan bangunan suci itu semakin menambah syahdu dan khusyu’ lingkungan sekitar. Kalimat rajutan mimpi yang kami untai semoga saja terpantul pada setiap partikel doa yang berdengung disana. Sehingga Dia yang maha mendengar berkenan mengabulkan permohonan kami si pemimpi yang sangat berharap pada kemurahan dan keridhoanNya. 

            “Mit, keren ya Oki dan Rita. Habis wisuda langsung lanjut S2. Beasiswa PMDSU pula. Kuliah empat tahun langsung dapat gelar doctor, euy. Sedang kita masih disini.”

            Yah! Wajarlah jika kalimat semacam itu terlontar dibibir mahasiswa tahun lewat. Parahnya lagi ada yang menyebut dengan mahasiswa tahun expired. Sedih memang. Saat teman-teman sudah banyak yang pergi meninggalkan kampus. Sedang kita masih berkutat dengan sekian beban SKS kuliah yang harus diselesaikan. Penelitian yang tidak meunjukkan kemajuan semakin membuat hati nelangsa. Mengeluh? Yah! Orang-orang yang tak merasakan perasaan itu mungkin akan menganggap perbuatan itu seperti orang yang tak tahu agama. Seperti orang yang tak bersyukur atas karunia tuhannya. 

            Apalah mau dikata. Hati yang nelangsa tak kan mempan bila orang-orang hanya berkata, “syukuri saja apa yang sedang terjadi padamu! Bahkan kamu lebih bersyukur jika dibanding mereka yang ingin sekolah tapi tak punya biaya!”

            Huft! Mungkin hanya itu yang mereka bisa. Berharap orang-orang yang sedang merasa kurang beruntung bisa kembali bersyukur atas nikmat sang Maha Pengasih dan Pemurah.

            Meski aku bukan masuk kategori mahasiswa tahun teramat lewat tapi aku mengerti perasaannya. Sebagian besar teman-teman yang sudah melepaskan status mahasiswanya dan pergi meninggalkan kampus menyisakan perasaan sepi yang lain. Tapi aku beruntung karena seorang teman dekat masih bersamaku. Meski akan pergi sebelum aku.

            Perasaan mengerti dan mungkin perasaan yang akan merasakan hal yang sama yang membuatku hanya membalas ucapannya dengan senyuman. Lalu sambil memeluknya aku berkata, “Ka Enji, mungkin kita yang tertunda menyelesaikan studi kita ini akan tereksitasi ke tempat yang energi nya lebih tinggi. Tempat yang lebih indah yang sebenarnya memang Allah persiapkan untuk kita. Bisa jadi apa yang kita alami sekarang adalah jalan yang harus kita lalui agar kita sampai kesana. Bisa jadi mereka yang lancar-lancar saja perjalanannya itu akan tetap berada diorbitalnya sekarang. Tapi kita, semoga tereksitasi ke tempat yang lebih Indah.”

            Well, ibarat atom. Elektron dalam atom berada dilintasannya masing-masing. Elektron itu adakalanya akan mengalami eksitasi ke orbital yang tingkat energinya lebih tinggi. Agar sampai kesana membutuhkan energi yang sangat banyak agar loncatan elektron tersebut mencapai tempat tujuan yang sebenarnya.

            Semoga apa yang kami ucapakan, rasakan dan hayalkan hari itu diaminkan oleh malaikat ditempat yang suci itu. Masjid Fakultas tempat kami merajut mimpi semoga menjadi saksi dimasa nanti bahwa kami pernah menyulam mimpi bersama dibawah atapnya. Amiin.

Masjid Fakultas MIPA UNAND, 8 September 2015