Jika saja
petugas tak pengertian itu tak menyuruhku beranjak mungkin aku tak akan seperti
orang gila ini sekarang. Berjalan tanpa arah menjauhi stasiun tanpa tujuan yang
jelas. Hempasan ombak yang terdengar tidak jauh dari tempat kereta berhenti
terdengar mengerikan ditelingaku. Lebih terdengar seperti hardikan menyuruhku
kembali.
Aku benar-benar
tidak tahu kemana harus menuju. Keinginan menghilang, beberapa jam yang lalu
terasa begitu lantang menabuh otak dan perasaanku seakan hilang seketika.
Ditambah dengan perut keroncong dan uang dalam saku, yang aku tidak tahu apakah
cukup atau tidak untuk sarapanku pagi ini dan membeli tiket kembali, semakin
menciutkan nyali. Baju asal jadi dan sandal jepit yang kugunakan membut aku tak
ingin bertemu siapa pun yang mengenalku. Sempurna, aku seperti seorang gembel
tak tentu arah di kota keliharan sendiri.
Di gerbang
stasiun aku berhenti sejanak. Melengok kiri kanan depan belakang. Mencari petunjuk
arah kemana kaki harus ku langkahkan. Di depan stasiun, lalu lalang kendaraan
dan orang berjalan kaki disekitar pasar untuk berbelanja perlengkapan dapur
ataupun sekedar singgah membeli menu sarapan ikut menggiurkan ku untuk berjalan
mendekati mereka. Perut keroncong ku pun seperti menyemangati ku berjalan lurus
kedepan. Tapi tangan yang merogoh saku jaketku membuatku ragu melangkah karena
jari-jariku hanya bisa menggapai recehan yang tak seberapa jumlahnya. Aku
semakin merasa malu sendiri. Dunia seakan sedang menertawakan ku dan memandang
sinis padaku.
“Lihat! Susah
sendiri kan Lo! Katanya mau kabur! Udah jauh dari rumah keingat pulang! Kasihan
banget sih!” Bisikan itu terdengar sangat menggelegar. Seperti petir yang
menyambar membuat seluruh tubuhku merinding.
Aku semakin
serasa ingin menangis saat teringat menjadi gembel di kota kelahiran sendiri.
Tempat aku biasa bermain sepulang sekolah dulu. Tempat yang aku telah hapal
setiap sudutnya. Tapi sekarang aku merasa seperti orang asing. Atau tepatnya
aku yang ingin menjadikan diriku asing disini karena kebodohan ku sendiri.
Pagi-pagi
setelah subuh tanpa sepengetahuan siapa pun dirumah, aku pergi tanpa arah dan
tujuan. Bahkan aku lebih memilih melompati pagar rumah karena tak ingin suara
gesekan pagar memberi tahu semua orang bahwa ada yang meninggalkan rumah. Aku
pun tak ingat untuk mengganti baju tidurku dengan baju yang sedikit pantas atau
pun menggunakan sepatu supaya aku tak terlihat seperti pengemis. Semuanya tak
terpikirkan olehku karena dari awal aku tak punya niat untuk pergi sampai
sejauh ini. Tapi beban masalah yang sungguh membuatku depresi ternyata tak bisa
ku hilangkan dengan sekedar berjalan pagi disekeliling komplek. Hah! Tapi apa
mau dikata sekarang? Aku sudah terlalu jauh melangkah. Ponsel yang bisa
kugunakan untuk bisa menghubungi teman sekolahku di kota ini pun tak kubawa.
Semakin terdamparlah aku di kota yang tak asing ini.
Rumah saudara
dan kerabat sebenarnya banyak yang bisa kusinggahi. Bukan hanya makan pagi saja
yang bisa ku dapatkan disana. Uang saku untuk beberapa hari pun bisa
kudapatkan. Tapi? Hah! Harga diriku terlalu tinggi untuk sekedar meminta
seperti itu. Apalagi jika seandainya mereka tahu bahwa aku pergi diam-diam dari
rumah. Dugaan-dugaan yang bisa membuat nama baik keluarga ku buruk dimata
keluarga lain tak akan bisa ku hindari. Dan kewarasan ku yang tersisas tak
ingin itu terjadi.
”Allah! Aku
hanya ingin menenangkan diri ku sesaat di kota ini. Aku tak berniat untuk lari
selamanya. Aku hanya ingin berfikir sejenak Ya, Allah!”
Lidah ku kelu
menyebut namaNya.
>>> to be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar