Kamis, 01 Oktober 2015

Episode 1: Ombak yang menghardik



Jika saja petugas tak pengertian itu tak menyuruhku beranjak mungkin aku tak akan seperti orang gila ini sekarang. Berjalan tanpa arah menjauhi stasiun tanpa tujuan yang jelas. Hempasan ombak yang terdengar tidak jauh dari tempat kereta berhenti terdengar mengerikan ditelingaku. Lebih terdengar seperti hardikan menyuruhku kembali. 

Aku benar-benar tidak tahu kemana harus menuju. Keinginan menghilang, beberapa jam yang lalu terasa begitu lantang menabuh otak dan perasaanku seakan hilang seketika. Ditambah dengan perut keroncong dan uang dalam saku, yang aku tidak tahu apakah cukup atau tidak untuk sarapanku pagi ini dan membeli tiket kembali, semakin menciutkan nyali. Baju asal jadi dan sandal jepit yang kugunakan membut aku tak ingin bertemu siapa pun yang mengenalku. Sempurna, aku seperti seorang gembel tak tentu arah di kota keliharan sendiri.

Di gerbang stasiun aku berhenti sejanak. Melengok kiri kanan depan belakang. Mencari petunjuk arah kemana kaki harus ku langkahkan. Di depan stasiun, lalu lalang kendaraan dan orang berjalan kaki disekitar pasar untuk berbelanja perlengkapan dapur ataupun sekedar singgah membeli menu sarapan ikut menggiurkan ku untuk berjalan mendekati mereka. Perut keroncong ku pun seperti menyemangati ku berjalan lurus kedepan. Tapi tangan yang merogoh saku jaketku membuatku ragu melangkah karena jari-jariku hanya bisa menggapai recehan yang tak seberapa jumlahnya. Aku semakin merasa malu sendiri. Dunia seakan sedang menertawakan ku dan memandang sinis padaku. 

“Lihat! Susah sendiri kan Lo! Katanya mau kabur! Udah jauh dari rumah keingat pulang! Kasihan banget sih!” Bisikan itu terdengar sangat menggelegar. Seperti petir yang menyambar membuat seluruh tubuhku merinding.

Aku semakin serasa ingin menangis saat teringat menjadi gembel di kota kelahiran sendiri. Tempat aku biasa bermain sepulang sekolah dulu. Tempat yang aku telah hapal setiap sudutnya. Tapi sekarang aku merasa seperti orang asing. Atau tepatnya aku yang ingin menjadikan diriku asing disini karena kebodohan ku sendiri.

Pagi-pagi setelah subuh tanpa sepengetahuan siapa pun dirumah, aku pergi tanpa arah dan tujuan. Bahkan aku lebih memilih melompati pagar rumah karena tak ingin suara gesekan pagar memberi tahu semua orang bahwa ada yang meninggalkan rumah. Aku pun tak ingat untuk mengganti baju tidurku dengan baju yang sedikit pantas atau pun menggunakan sepatu supaya aku tak terlihat seperti pengemis. Semuanya tak terpikirkan olehku karena dari awal aku tak punya niat untuk pergi sampai sejauh ini. Tapi beban masalah yang sungguh membuatku depresi ternyata tak bisa ku hilangkan dengan sekedar berjalan pagi disekeliling komplek. Hah! Tapi apa mau dikata sekarang? Aku sudah terlalu jauh melangkah. Ponsel yang bisa kugunakan untuk bisa menghubungi teman sekolahku di kota ini pun tak kubawa. Semakin terdamparlah aku di kota yang tak asing ini.

Rumah saudara dan kerabat sebenarnya banyak yang bisa kusinggahi. Bukan hanya makan pagi saja yang bisa ku dapatkan disana. Uang saku untuk beberapa hari pun bisa kudapatkan. Tapi? Hah! Harga diriku terlalu tinggi untuk sekedar meminta seperti itu. Apalagi jika seandainya mereka tahu bahwa aku pergi diam-diam dari rumah. Dugaan-dugaan yang bisa membuat nama baik keluarga ku buruk dimata keluarga lain tak akan bisa ku hindari. Dan kewarasan ku yang tersisas tak ingin itu terjadi.

”Allah! Aku hanya ingin menenangkan diri ku sesaat di kota ini. Aku tak berniat untuk lari selamanya. Aku hanya ingin berfikir sejenak Ya, Allah!”

Lidah ku kelu menyebut namaNya.

>>> to be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar