Rabu, 13 Desember 2017

Aku Hanya Memilih Tuhanku

Hatiku pernah memilih seseorang. Lalu berjuang untuk perasaan itu sambil berdoa pada tuhanku agar Dia memberikan dia yang kupilih untukku. Tapi ternyata, tuhanku tak meridhoi. Sekuat apa pun aku mencoba, tak ada titik temu antara aku dan dia. Semuanya serba menggantung, tapi aku terus memaksa agar dibukakan sebuah jalan pertemuan antara aku dan dia. Tapi, semakin aku mencoba semakin aku merasa marah pada diriku. Aku semakin merasa lemah tak berdaya. Tak cukup kuat memperjuangkan sebuah rasa yang kupunya. Lalu akhirnya aku menyerah. Menyerah pada tuhanku yang tak pernah meridhoi kebersamaan aku dengan dia.

            Aku menyerah bukan tanpa alasan. Suatu saat aku diberikan kabar akan kedatangan seseorang. Seseorang yang sama sekali tak ku kenal. Seseorang yang entah siapa. Dan aku, sama sekali belum mengerti siapa dia sebenarnya. Karena itu, hatiku tak bisa menerima kedatangannya.

            Dalam kesalku, dalam gundahku, dalam sedikit kemarahanku, aku bertanya pada tuhanku, “Allah, siapa dia, ya Allah? Apa dia memang seseorang yang kau pilihkan untukku?”

            Lama hatiku bimbang. Lama hatiku mendapatkan alasan untuk berkata, “Ya!” Yang ada, hatiku malah berusaha mencari alasan, kalau-kalau ada alasan yang bisa kugunakan untuk berkata, “Tidak!”

            Yang paling mengesalkan sekali adalah, saat orang-orang yang kuharapkan akan mendukungku untuk berkata tidak, malah tidak mendukung alasan yang kuberikan. Mereka terus saja berkata dan menyuruhku melangkah maju. Mereka lagi dan lagi mendorongku maju tanpa peduli bahwa aku sedang menahan gerak langkahku. Melawan arus dorongan mereka agar aku, setidaknya, bisa sejenak beristirahat. Memikirkan kembali dengan jernih sikap apa yang harus ku ambil.

            Disaat pergolakan antara keinginanku dan keinginan orang-orang disekitarku, aku bertanya lagi pada tuhanku. Merajuk pada tuhanku agar Dia memberikan jawaban yang membuatku tenang. Tapi mungkin kecenderungan hatiku pada orang lain membuatku tak bisa menerima sinyal jawabn yang Dia berikan. Mungkin karena aku masih terpaku pada rasa yang tak kunjung bermuara, membuat aku tak bisa melihat limpahan hikmah yang tuhanku berikan saat itu.

            Lalu, antara mau dan tidak mau, aku membiarkan orang-orang disekitarku mem-plot langkah yang harus ku ambil. Aku menyerah. Dengan pikiran, mungki ini yang tuhanku ingin aku lakukan.

            Step demi step ku lalui. Aku menyerahkan semuanya pada Dia. Meski masih sering keengganan datang dan pergi lalu balik lagi, lagi dan lagi aku menyerah di hadapan Dia. Aku seperti orang yang tersungkur lalu mengaduh pada Tuhanku. Merengek seperti anak kecil agar dipenuhi keinginannya. Tapi ketentuan Tuhanku sudah berlaku. Aku sudah tak bisa lagi menghentikan langkah apalagi surut kebelakang.

            Suatu kali temanku bertanya padaku, “Jadi hal apa yang membuat lu pada akhirnya memilih dia?”

            Hmm. Aku terdiam cukup lama. Memikirkan dan menimbang, hal apa sebenarnya? Dan ternyata aku tak menemukan alasan lain selain, “Mungkin karena Allah yang memilihkan dia kali, ya? Dan gue ga punya alasan syar’i buat nolak dia.”

            Hanya jawaban itu yang ku punya. Berbeda halnya ketika dia bertanya padaku tentang hal yang membuat aku mengagumi sosok yang pernah dipilih hatiku sebelumnya. Dengan lancar dan jelas aku punya alasannya. Tapi aku tergagap ketika ditanya perihal dia, si Takdir Tuhan untukku. Hmm.

            Ya, sampai sekrang pun aku masih punya jawaban yang sama. Belum ada hal yang bisa ku ungkapkan tentang dia. Bahkan ketika berbicara dengan dia suatu saat ketika mengurus sesuatu di kantor urusan agama, aku tak merasa canggung atau merasa sedikir getaran di dada. Tidak seperti teman-teman lain yang kutanya yang telah melewati masa yang sedang kulalui. Mereka bilang, bahkan mereka tidak bisa bicara santai apalagi melihat mata laki-laki mereka saat berbicara dengannya.

            Lagi dan lagi aku bingung. Aku bertanya-tanya sendiri, kenapa aku seperti ini? Apa karena aku belum belajar membuka hatiku untuk dia? Apa karena aku belum menerima sepenuhnya? Oh! Allah.


            Tapi, ya sudahlah. Dari awal sekali, langkahku sampai disini bukan hanya karena aku yang melangkah sendiri. Tapi karena Allah, Tuhanku, yang telah menggerakkan kaki ku. Aku membiarkan Dia menuntun jalanku. Aku tak pedulikan lagi otak dan hatiku yang meronta, karena aku tak berdaya di hadapan Tuhanku. Jika Dia berkehendak aku menuruti pilihannya, mungkin itu yang terbaik untukku, kan? Mungkin ada sesuatu yang sedang dia persiapkan untukku dalam perjalanan selanjutnya.

Selasa, 12 Desember 2017

SINGGAH

Ada yang pernah bilang padaku, ketika hati belum menemukan hati yang mampu membuatnya selalu ingin pulang, dia akan selalu mengembara dan menemukan tempat singgah. Mencoba menelisik kedalam persinggahannya, bertanya pada dirinya sendiri, ”Apakah mungkin ini rumah yang bisa ku tempati?”

            Aku kadang juga begitu. Atau mungkin sering. Membuat hatiku singgah di suatu tempat diam-diam. Tak membiarkan si empu yang punya rumah tahu bahwa aku telah menyinggahi rumahnya. Tentu saja saat itu aku hanya mampu berdiri di luar. Tak mampu menembus masuk lebih dalam, menelisik sesuatu di kedalaman hatinya. Aku tak bisa. Karena aku berada disana diam-diam. Juga tak ingin memberi tahu pemilik hati bahwa hatinya telah membuatku berhenti sejenak di depan pintu hatinya.

            Aku cukup menikmati saat-saat persinggahanku. Meski kadang juga kesal kenapa yang punya rumah tak pernah menyadari keberadaanku di depan pintu rumahnya. Tak tahukan dia bahwa aku membiarkan diriku dibasahi hujan, dipanggang teriknya matahari, bahkan kedinginan sendiri ketika badai datang hanya untuk membuat dia sadar bahwa aku sudah disana sejak waktu yang lama. Menunggu dan berharap dia mengizinkan aku masuk, sekedar berlindung untuk sesaat. Setidaknya ketika hujan aku tak kebasahan lagi. Atau ketika matahari terik aku tak kepanasan lagi. Atau ketika badai, aku tak pelu takut kedinginan dan ketakutan sambil memeluk lututku sendiri lagi di depan teras rumahnya. Aku lagi dan lagi membiarkan diriku menuggu di luar rumahnya.

            Mungkin kalian akan beranggapan aku orang yang tidak tahu malu. Yah, mungkin. Tapi kalian tahu? Bagaimana mungkin bisa aku membuat diriku berlalu ketika mendapati sapaannya yang hangat ketika dia berjalan keluar rumah dan menyapaku? Aku juga tak bisa mengalihkan pandanganku dari senyuman ramahnya di kejauhan yang kuintip dari jendela rumahnya. Atau tingkah konyol dia saat dia bersama dengan teman-temannya yang hanya bisa kulihat dari balik jendela. Semua pemandangan itu selalu berhasil memikatku. Menghapus kejemuan menunggu meski sudah terlalu lama. Selalu berhasil mengurungkan niatku untuk berlalu dari sana dan berlindung dalam rumahku sendiri.

            Ya, ku akui, aku sendiri sering memaki diriku yang entah kenapa terlalu betah berlama-lama disana. Menghayal dalam ketidak-pastian tentang suatu waktu, saat aku bisa menghabiskan waktuku bersamanya. Menghayalkan dia dengan senyumnya yang pada akhirnya mengulurkan tangan dan mengajakku masuk kedalam rumah hatinya. Membayangkan sebuah akhir yang bahagia dari penantian.

            Ya, aku pikir, aku bisa bertahan lama mengagumi dia dalam diam. Aku pikir aku bisa sabar dengan semua pendaman perasaan itu tanpa memberi tahu dia. Tapi ternyata, aku tak sekuat itu. Dalam kejemuan penantian, aku berharap dia sadar. Aku berharap dia membalas, aku berharap dia mengizinkan aku menempati hatinya, untuk selamanya.

            Akan sangat munafik jika aku berkata bahwa aku akan cukup senang ketika dia mengajakku masuk sejenak dihatinya. Tidak. Aku tak ingin ada kata sejenak. Aku hanya akan senang dengan kata selamanya.

            Ketika aku menyadari bahwa harapanku semaruk itu, aku tergagap dengan semua perasaan dan waktu yang telah ku habiskan. Aku kebingungan, haruskan aku melanjutkan atau berhenti saja? Atau haruskah aku menggedor pintu hatinya dan memberi tahu dia dengan lantang bahwa selama ini aku telah menunggunya? Lalu meneriaki dia karena tak pernah sadar dengan semua lelah yang kurasakan dalam penantianku padanya? Lagi-lagi aku bertanya, “Haruskah?”