Selasa, 12 Desember 2017

SINGGAH

Ada yang pernah bilang padaku, ketika hati belum menemukan hati yang mampu membuatnya selalu ingin pulang, dia akan selalu mengembara dan menemukan tempat singgah. Mencoba menelisik kedalam persinggahannya, bertanya pada dirinya sendiri, ”Apakah mungkin ini rumah yang bisa ku tempati?”

            Aku kadang juga begitu. Atau mungkin sering. Membuat hatiku singgah di suatu tempat diam-diam. Tak membiarkan si empu yang punya rumah tahu bahwa aku telah menyinggahi rumahnya. Tentu saja saat itu aku hanya mampu berdiri di luar. Tak mampu menembus masuk lebih dalam, menelisik sesuatu di kedalaman hatinya. Aku tak bisa. Karena aku berada disana diam-diam. Juga tak ingin memberi tahu pemilik hati bahwa hatinya telah membuatku berhenti sejenak di depan pintu hatinya.

            Aku cukup menikmati saat-saat persinggahanku. Meski kadang juga kesal kenapa yang punya rumah tak pernah menyadari keberadaanku di depan pintu rumahnya. Tak tahukan dia bahwa aku membiarkan diriku dibasahi hujan, dipanggang teriknya matahari, bahkan kedinginan sendiri ketika badai datang hanya untuk membuat dia sadar bahwa aku sudah disana sejak waktu yang lama. Menunggu dan berharap dia mengizinkan aku masuk, sekedar berlindung untuk sesaat. Setidaknya ketika hujan aku tak kebasahan lagi. Atau ketika matahari terik aku tak kepanasan lagi. Atau ketika badai, aku tak pelu takut kedinginan dan ketakutan sambil memeluk lututku sendiri lagi di depan teras rumahnya. Aku lagi dan lagi membiarkan diriku menuggu di luar rumahnya.

            Mungkin kalian akan beranggapan aku orang yang tidak tahu malu. Yah, mungkin. Tapi kalian tahu? Bagaimana mungkin bisa aku membuat diriku berlalu ketika mendapati sapaannya yang hangat ketika dia berjalan keluar rumah dan menyapaku? Aku juga tak bisa mengalihkan pandanganku dari senyuman ramahnya di kejauhan yang kuintip dari jendela rumahnya. Atau tingkah konyol dia saat dia bersama dengan teman-temannya yang hanya bisa kulihat dari balik jendela. Semua pemandangan itu selalu berhasil memikatku. Menghapus kejemuan menunggu meski sudah terlalu lama. Selalu berhasil mengurungkan niatku untuk berlalu dari sana dan berlindung dalam rumahku sendiri.

            Ya, ku akui, aku sendiri sering memaki diriku yang entah kenapa terlalu betah berlama-lama disana. Menghayal dalam ketidak-pastian tentang suatu waktu, saat aku bisa menghabiskan waktuku bersamanya. Menghayalkan dia dengan senyumnya yang pada akhirnya mengulurkan tangan dan mengajakku masuk kedalam rumah hatinya. Membayangkan sebuah akhir yang bahagia dari penantian.

            Ya, aku pikir, aku bisa bertahan lama mengagumi dia dalam diam. Aku pikir aku bisa sabar dengan semua pendaman perasaan itu tanpa memberi tahu dia. Tapi ternyata, aku tak sekuat itu. Dalam kejemuan penantian, aku berharap dia sadar. Aku berharap dia membalas, aku berharap dia mengizinkan aku menempati hatinya, untuk selamanya.

            Akan sangat munafik jika aku berkata bahwa aku akan cukup senang ketika dia mengajakku masuk sejenak dihatinya. Tidak. Aku tak ingin ada kata sejenak. Aku hanya akan senang dengan kata selamanya.

            Ketika aku menyadari bahwa harapanku semaruk itu, aku tergagap dengan semua perasaan dan waktu yang telah ku habiskan. Aku kebingungan, haruskan aku melanjutkan atau berhenti saja? Atau haruskah aku menggedor pintu hatinya dan memberi tahu dia dengan lantang bahwa selama ini aku telah menunggunya? Lalu meneriaki dia karena tak pernah sadar dengan semua lelah yang kurasakan dalam penantianku padanya? Lagi-lagi aku bertanya, “Haruskah?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar