Ada yang pernah bilang padaku, ketika hati belum
menemukan hati yang mampu membuatnya selalu ingin pulang, dia akan selalu
mengembara dan menemukan tempat singgah. Mencoba menelisik kedalam
persinggahannya, bertanya pada dirinya sendiri, ”Apakah mungkin ini rumah yang
bisa ku tempati?”
Aku
kadang juga begitu. Atau mungkin sering. Membuat hatiku singgah di suatu tempat
diam-diam. Tak membiarkan si empu yang punya rumah tahu bahwa aku telah
menyinggahi rumahnya. Tentu saja saat itu aku hanya mampu berdiri di luar. Tak
mampu menembus masuk lebih dalam, menelisik sesuatu di kedalaman hatinya. Aku
tak bisa. Karena aku berada disana diam-diam. Juga tak ingin memberi tahu
pemilik hati bahwa hatinya telah membuatku berhenti sejenak di depan pintu
hatinya.
Aku
cukup menikmati saat-saat persinggahanku. Meski kadang juga kesal kenapa yang
punya rumah tak pernah menyadari keberadaanku di depan pintu rumahnya. Tak
tahukan dia bahwa aku membiarkan diriku dibasahi hujan, dipanggang teriknya
matahari, bahkan kedinginan sendiri ketika badai datang hanya untuk membuat dia
sadar bahwa aku sudah disana sejak waktu yang lama. Menunggu dan berharap dia
mengizinkan aku masuk, sekedar berlindung untuk sesaat. Setidaknya ketika hujan
aku tak kebasahan lagi. Atau ketika matahari terik aku tak kepanasan lagi. Atau
ketika badai, aku tak pelu takut kedinginan dan ketakutan sambil memeluk
lututku sendiri lagi di depan teras rumahnya. Aku lagi dan lagi membiarkan
diriku menuggu di luar rumahnya.
Mungkin
kalian akan beranggapan aku orang yang tidak tahu malu. Yah, mungkin. Tapi
kalian tahu? Bagaimana mungkin bisa aku membuat diriku berlalu ketika mendapati
sapaannya yang hangat ketika dia berjalan keluar rumah dan menyapaku? Aku juga
tak bisa mengalihkan pandanganku dari senyuman ramahnya di kejauhan yang
kuintip dari jendela rumahnya. Atau tingkah konyol dia saat dia bersama dengan
teman-temannya yang hanya bisa kulihat dari balik jendela. Semua pemandangan itu
selalu berhasil memikatku. Menghapus kejemuan menunggu meski sudah terlalu lama.
Selalu berhasil mengurungkan niatku untuk berlalu dari sana dan berlindung
dalam rumahku sendiri.
Ya,
ku akui, aku sendiri sering memaki diriku yang entah kenapa terlalu betah
berlama-lama disana. Menghayal dalam ketidak-pastian tentang suatu waktu, saat
aku bisa menghabiskan waktuku bersamanya. Menghayalkan dia dengan senyumnya
yang pada akhirnya mengulurkan tangan dan mengajakku masuk kedalam rumah
hatinya. Membayangkan sebuah akhir yang bahagia dari penantian.
Ya,
aku pikir, aku bisa bertahan lama mengagumi dia dalam diam. Aku pikir aku bisa
sabar dengan semua pendaman perasaan itu tanpa memberi tahu dia. Tapi ternyata,
aku tak sekuat itu. Dalam kejemuan penantian, aku berharap dia sadar. Aku
berharap dia membalas, aku berharap dia mengizinkan aku menempati hatinya,
untuk selamanya.
Akan
sangat munafik jika aku berkata bahwa aku akan cukup senang ketika dia
mengajakku masuk sejenak dihatinya. Tidak. Aku tak ingin ada kata sejenak. Aku
hanya akan senang dengan kata selamanya.
Ketika
aku menyadari bahwa harapanku semaruk itu, aku tergagap dengan semua perasaan
dan waktu yang telah ku habiskan. Aku kebingungan, haruskan aku melanjutkan
atau berhenti saja? Atau haruskah aku menggedor pintu hatinya dan memberi tahu
dia dengan lantang bahwa selama ini aku telah menunggunya? Lalu meneriaki dia
karena tak pernah sadar dengan semua lelah yang kurasakan dalam penantianku
padanya? Lagi-lagi aku bertanya, “Haruskah?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar