Dari dia aku belajar tentang sebuah perjuangan
mempertahankan cita. Belajar tentang perjuangan menuju sebuah temu. Yang
diridhoi tuhannya dan direstui orang tuanya. Belajar tentang besabar menahan
sebuah rindu pada sebuah pertemuan yang halal dan menjaga kejernihan hati
selama itu.
Perbedaan
level latar belakang pendidikan yang membuat beberapa dari pihak keluarganya
menentang. “Ah! Percuma kamu sekolah tinggi-tinggi jika pada akhirnya menikah
dengan seorang laki-laki yang hanya lulusan SMA!” Begitulah kira-kira bantahan
dalam bentakan yang diucapkan keluarganya yang lain. Bukan ibu atau bapaknya.
Padahal,
dari cerita dia, aku tahu bahwa laki-laki yang meminta dia adalah laki-laki
yang baik. Selalu berusaha menjalankan perintah tuhannya dan terus berusaha
menambah pemahaman dia tentang agama tuhannya. Lalu, hanya karena level
pendidikan si pria lebih rendah dari si wanita, kerabatnya menentang niat
mereka.
Ah!
Pertemuan menuju sebuah kebaikan emang selalu penuh aral merlintang, ya.
Aku
pun merasakan hal yang sama. Bedanya, orang tuaku setuju sementara aku, pada
awalnya enggan karena yang datang bukan seseorang yang aku pernah menaruh hati
padanya Ah! Permasalahan yang lebih sepele lagi, kan? Ya, menurut sebagian
besar orang, tapi bagiku itu sesuatu yang penting.
Aku
kesal, aku marah, aku sakit hati hingga sampai menangis ketika mendengar kabar
yang tiba-tiba itu. Hatiku berteriak meronta, “Kenapa bukan dia yang itu?
Kenapa dia yang ini?! Aku tak kenal siapa dia!”
Ah!
Berat! Sejak saat itu pertarungan antara hati dan logika ku dimulai. Ditambah
lagi oleh desakan orang tua yang sangat berharap aku tidak menolaknya. Siang
malam aku uring-uringan. Hatiku meragu dan bertanya, “Bagaimana kalau
seandainya nanti aku tidak bisa mencintai dia? Akankah aku bisa menjadi wanita
yang baik untuk dia? Oh, tuhan!”
Seringkali
jeritan itu bertalu dihati dan benakku. Beradu argumen antara mereka. Sementara
logika ku berkata, “Kamu, bukannya sebelumnya kamu meminta pada tuhan untuk
memilihkan seorang laki-laki yang baik menurut Dia? Kamu sendiri yang
menyerahkan semua keputusan pada Dia. Lalu, sekrang, saat Dia sudah mengirimkan
padamu sosok itu, kenapa menangis? Kamu tahukan, tuhanmu, Allah, lebih
mengetahui yang terbaik untuk kamu!”
Hatiku
mereda sejenak. Mengalah pada logisnya argumen logika. Lalu mencoba mengayunkan
langkah pada satu tahapan pertama. Tapi setelah itu, batinku meronta lagi,
meragu lagi, kesal dan marah lagi. Lalu lagi-lagi pada akhirnya mengalah pada
logika yang meyakini kebaikan Sang Pemilik takdir dan Penggenggam hati. Kemudian,
terulang lagi, berteriak lagi. Kali ini lebih keras hingga dia membisikkan kata
tolak, tapi logika ketuhananku mengalahkan ego yang dipenuhi nafsu.
Langkahku
kini sudah jauh. Meski kadang keraguan itu sesekali masih datang menghampiri.
Tapi, ya sudahlah. Langkahku sampai sejauh ini juga karena Dia yang meridhoi.
Karena takdir dan kehendak Dia. Dan aku masih yakin, bahwa Allah tidak akan
menyianyiakan hambanya yang selalu berusaha mengingat dia di setiap akhtivitas
dan helaan nafasnya.
Allah.
Jika memang ini kehendakMu dan dia adalah sosok terbaik untukku menurut Engkau,
maka buatlah hati ini condong padanya. Bantu aku nanti menjadi istri yang baik
dan berbakti pada suamiku.