Senin, 30 Oktober 2017

Perjuangan Sebuah Temu

Dari dia aku belajar tentang sebuah perjuangan mempertahankan cita. Belajar tentang perjuangan menuju sebuah temu. Yang diridhoi tuhannya dan direstui orang tuanya. Belajar tentang besabar menahan sebuah rindu pada sebuah pertemuan yang halal dan menjaga kejernihan hati selama itu.

            Perbedaan level latar belakang pendidikan yang membuat beberapa dari pihak keluarganya menentang. “Ah! Percuma kamu sekolah tinggi-tinggi jika pada akhirnya menikah dengan seorang laki-laki yang hanya lulusan SMA!” Begitulah kira-kira bantahan dalam bentakan yang diucapkan keluarganya yang lain. Bukan ibu atau bapaknya.

            Padahal, dari cerita dia, aku tahu bahwa laki-laki yang meminta dia adalah laki-laki yang baik. Selalu berusaha menjalankan perintah tuhannya dan terus berusaha menambah pemahaman dia tentang agama tuhannya. Lalu, hanya karena level pendidikan si pria lebih rendah dari si wanita, kerabatnya menentang niat mereka.

            Ah! Pertemuan menuju sebuah kebaikan emang selalu penuh aral merlintang, ya.

            Aku pun merasakan hal yang sama. Bedanya, orang tuaku setuju sementara aku, pada awalnya enggan karena yang datang bukan seseorang yang aku pernah menaruh hati padanya Ah! Permasalahan yang lebih sepele lagi, kan? Ya, menurut sebagian besar orang, tapi bagiku itu sesuatu yang penting.

            Aku kesal, aku marah, aku sakit hati hingga sampai menangis ketika mendengar kabar yang tiba-tiba itu. Hatiku berteriak meronta, “Kenapa bukan dia yang itu? Kenapa dia yang ini?! Aku tak kenal siapa dia!”

            Ah! Berat! Sejak saat itu pertarungan antara hati dan logika ku dimulai. Ditambah lagi oleh desakan orang tua yang sangat berharap aku tidak menolaknya. Siang malam aku uring-uringan. Hatiku meragu dan bertanya, “Bagaimana kalau seandainya nanti aku tidak bisa mencintai dia? Akankah aku bisa menjadi wanita yang baik untuk dia? Oh, tuhan!”

            Seringkali jeritan itu bertalu dihati dan benakku. Beradu argumen antara mereka. Sementara logika ku berkata, “Kamu, bukannya sebelumnya kamu meminta pada tuhan untuk memilihkan seorang laki-laki yang baik menurut Dia? Kamu sendiri yang menyerahkan semua keputusan pada Dia. Lalu, sekrang, saat Dia sudah mengirimkan padamu sosok itu, kenapa menangis? Kamu tahukan, tuhanmu, Allah, lebih mengetahui yang terbaik untuk kamu!”

            Hatiku mereda sejenak. Mengalah pada logisnya argumen logika. Lalu mencoba mengayunkan langkah pada satu tahapan pertama. Tapi setelah itu, batinku meronta lagi, meragu lagi, kesal dan marah lagi. Lalu lagi-lagi pada akhirnya mengalah pada logika yang meyakini kebaikan Sang Pemilik takdir dan Penggenggam hati. Kemudian, terulang lagi, berteriak lagi. Kali ini lebih keras hingga dia membisikkan kata tolak, tapi logika ketuhananku mengalahkan ego yang dipenuhi nafsu.

            Langkahku kini sudah jauh. Meski kadang keraguan itu sesekali masih datang menghampiri. Tapi, ya sudahlah. Langkahku sampai sejauh ini juga karena Dia yang meridhoi. Karena takdir dan kehendak Dia. Dan aku masih yakin, bahwa Allah tidak akan menyianyiakan hambanya yang selalu berusaha mengingat dia di setiap akhtivitas dan helaan nafasnya.



            Allah. Jika memang ini kehendakMu dan dia adalah sosok terbaik untukku menurut Engkau, maka buatlah hati ini condong padanya. Bantu aku nanti menjadi istri yang baik dan berbakti pada suamiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar