Hatiku pernah memilih seseorang. Lalu berjuang
untuk perasaan itu sambil berdoa pada tuhanku agar Dia memberikan dia yang
kupilih untukku. Tapi ternyata, tuhanku tak meridhoi. Sekuat apa pun aku
mencoba, tak ada titik temu antara aku dan dia. Semuanya serba menggantung,
tapi aku terus memaksa agar dibukakan sebuah jalan pertemuan antara aku dan
dia. Tapi, semakin aku mencoba semakin aku merasa marah pada diriku. Aku
semakin merasa lemah tak berdaya. Tak cukup kuat memperjuangkan sebuah rasa
yang kupunya. Lalu akhirnya aku menyerah. Menyerah pada tuhanku yang tak pernah
meridhoi kebersamaan aku dengan dia.
Aku
menyerah bukan tanpa alasan. Suatu saat aku diberikan kabar akan kedatangan
seseorang. Seseorang yang sama sekali tak ku kenal. Seseorang yang entah siapa.
Dan aku, sama sekali belum mengerti siapa dia sebenarnya. Karena itu, hatiku
tak bisa menerima kedatangannya.
Dalam
kesalku, dalam gundahku, dalam sedikit kemarahanku, aku bertanya pada tuhanku, “Allah,
siapa dia, ya Allah? Apa dia memang seseorang yang kau pilihkan untukku?”
Lama
hatiku bimbang. Lama hatiku mendapatkan alasan untuk berkata, “Ya!” Yang ada,
hatiku malah berusaha mencari alasan, kalau-kalau ada alasan yang bisa
kugunakan untuk berkata, “Tidak!”
Yang
paling mengesalkan sekali adalah, saat orang-orang yang kuharapkan akan
mendukungku untuk berkata tidak, malah tidak mendukung alasan yang kuberikan.
Mereka terus saja berkata dan menyuruhku melangkah maju. Mereka lagi dan lagi
mendorongku maju tanpa peduli bahwa aku sedang menahan gerak langkahku. Melawan
arus dorongan mereka agar aku, setidaknya, bisa sejenak beristirahat.
Memikirkan kembali dengan jernih sikap apa yang harus ku ambil.
Disaat
pergolakan antara keinginanku dan keinginan orang-orang disekitarku, aku
bertanya lagi pada tuhanku. Merajuk pada tuhanku agar Dia memberikan jawaban
yang membuatku tenang. Tapi mungkin kecenderungan hatiku pada orang lain
membuatku tak bisa menerima sinyal jawabn yang Dia berikan. Mungkin karena aku
masih terpaku pada rasa yang tak kunjung bermuara, membuat aku tak bisa melihat
limpahan hikmah yang tuhanku berikan saat itu.
Lalu,
antara mau dan tidak mau, aku membiarkan orang-orang disekitarku mem-plot
langkah yang harus ku ambil. Aku menyerah. Dengan pikiran, mungki ini yang
tuhanku ingin aku lakukan.
Step
demi step ku lalui. Aku menyerahkan semuanya pada Dia. Meski masih sering
keengganan datang dan pergi lalu balik lagi, lagi dan lagi aku menyerah di hadapan
Dia. Aku seperti orang yang tersungkur lalu mengaduh pada Tuhanku. Merengek
seperti anak kecil agar dipenuhi keinginannya. Tapi ketentuan Tuhanku sudah
berlaku. Aku sudah tak bisa lagi menghentikan langkah apalagi surut kebelakang.
Suatu
kali temanku bertanya padaku, “Jadi hal apa yang membuat lu pada akhirnya
memilih dia?”
Hmm.
Aku terdiam cukup lama. Memikirkan dan menimbang, hal apa sebenarnya? Dan ternyata
aku tak menemukan alasan lain selain, “Mungkin karena Allah yang memilihkan dia
kali, ya? Dan gue ga punya alasan syar’i buat nolak dia.”
Hanya
jawaban itu yang ku punya. Berbeda halnya ketika dia bertanya padaku tentang
hal yang membuat aku mengagumi sosok yang pernah dipilih hatiku sebelumnya.
Dengan lancar dan jelas aku punya alasannya. Tapi aku tergagap ketika ditanya
perihal dia, si Takdir Tuhan untukku. Hmm.
Ya,
sampai sekrang pun aku masih punya jawaban yang sama. Belum ada hal yang bisa
ku ungkapkan tentang dia. Bahkan ketika berbicara dengan dia suatu saat ketika
mengurus sesuatu di kantor urusan agama, aku tak merasa canggung atau merasa
sedikir getaran di dada. Tidak seperti teman-teman lain yang kutanya yang telah
melewati masa yang sedang kulalui. Mereka bilang, bahkan mereka tidak bisa bicara
santai apalagi melihat mata laki-laki mereka saat berbicara dengannya.
Lagi
dan lagi aku bingung. Aku bertanya-tanya sendiri, kenapa aku seperti ini? Apa
karena aku belum belajar membuka hatiku untuk dia? Apa karena aku belum
menerima sepenuhnya? Oh! Allah.
Tapi,
ya sudahlah. Dari awal sekali, langkahku sampai disini bukan hanya karena aku
yang melangkah sendiri. Tapi karena Allah, Tuhanku, yang telah menggerakkan
kaki ku. Aku membiarkan Dia menuntun jalanku. Aku tak pedulikan lagi otak dan
hatiku yang meronta, karena aku tak berdaya di hadapan Tuhanku. Jika Dia
berkehendak aku menuruti pilihannya, mungkin itu yang terbaik untukku, kan?
Mungkin ada sesuatu yang sedang dia persiapkan untukku dalam perjalanan
selanjutnya.