Jumat, 22 April 2016

Menjadi Tak Waras

Biasanya aku tak seterbuka ini tentang perasaan. Aku tak pernah ingin berbagi rasa dengan orang-orang di sekitarku tentang getaran kecil yang kupendam untuk seseorang. Jangankan pada sahabatku sendiri, pada diriku sendiri aku enggan mengakui rasa itu.

Tapi hari itu, aku tiba-tiba menjadi orang paling extrovert sedunia. Aku dengan terang-terangan bercerita pada mereka tentang bagaimana aku bisa menjadi menyukai orang itu. Ya, aku hanya menyukai, sebatas suka, ya. Bukan cinta. Meski begitu, dulu sekali, aku tak pernah ingin mengakui bahkan tak mau bercerita
tentang kekagumanku pada seseorang. Namun kali ini, cerita itu mengalir dengan lancar dan sendirinya dari bibirku. Seolah-olah aku sedang mendeklarasikan bahwa aku suka dia. Seolah-olah ada penegasan pada semua yang disana, "Jangan pernah berani kalian merebut dia dariku!"

Hah! Gilaaaa! Sungguh gila!

Itu bukan aku sama sekali. Bukan aku yang biasa. Entah setan apa yang merasukiku sehingga aku tak sedikit pun malu mendeklarasikan tentang rasa hatiku pada mereka. Aku jadi benar-benar tidak peduli jika seandainya cerita itu menyebar kemana-mana, bahkan aku tak merasa baik-baik saja jika seandainya cerita ini sampai pada telinganya. Ooohh..! benar-benar tidak tahu malu!

Mungkin ada yang beranggapan itu biasa saja. Iya, biasa saja bagi sebagian orang. Tapi tidak bagiku. Aku yang normal selalu beranggapan bahwa menyimpan rasa lebih baik dibandingkan mengungkapkan rasa bila tak siap untuk komitmen. Ya, mungkin kalian menganggap aku tipe oranf yang terlalu serius. Tak apa! Karena bagiku perasaan itu bukan sesuatu yang bisa dibercandakan. Aku takut merasa luka, karena itu aku lebih memilih menghindarinya sama sekali.

Dan suatu hari berita itu datang. Kabar tentang sebuah ikatan janji yang akan orang itu lakukan dengan perempuan yang sangat aku kenal, dekat. Ah! Tak usahlah aku ceritakan bagaimana hatiku waktu itu, yang jelas beberapa waktu setelah itu aku seperti mengangkat bendera perang pada si calon pengantin wanita.

Ah! Benar-benar gila.

Aku benar-benar merasa konyol! Bahkan saat ini, saat semua kesadaran telah kembali lagi padaku, membuat aku menertawakan diriku sendiri. Aku benar-benar merasa tolol dengan ketidakwarasan yang pernah menghinggapiku. Membuatku berjanji tak akan sekalipun, lagi, pernah mengungkap rasa jika belum saatnya.

Kamis, 21 April 2016

Berdamai dengan Hati

Aku resmi berdamai. Pada rasa yang pernah ada. Pada rasa yang kutemukan sendiri, lalu kubuang karena tak kuasa menyimpannya sendiri begitu lama. Harus kubuang karena aku tak punya lagi tempat untuk menggantung rasa itu. Dia sudah pergi bersama yang lain yang telah takdir pilihkan untuknya.

Kecewa dan menyesal? tentu saja!

Aku kecewa pada diriku sediri karena terlarut pada rasa yang tak seharusnya kusimpan waktu itu. Aku menyesal atas semua rasa dan hayal yang pernah kurangkai untuk dia. Aku merasa berdosa jika terus membiarkan rasa itu ada. Berdosa pada diriku sendiri dan berdosa pada temanku yang telah bersama dia kini. Tentu saja yang paling aku takutkan adalah Dia yang akan marah padaku karena mengaharap seseorang yang bukan ditakdirkan untukku. Huh!

Berat memang saat pertama kali mendengar kabar tentang mereka. Tentang dia yang sempat mengisi ruang hayalku ternyata tak ditakdirkan untukku, tapi untuk seseorang yang bisa dikatakan sahabatku sendiri. Teman perjuangan yang telah melewati banyak hal bersamaku. 

Tidak rela. Ya, mungkin awalnya begitu. Beberapa waktu aku merasa ada ganjalan rasa yang muncul saatku bertatap muka langsung dengan dia, sahabatku. Kami menjadi seperti punya sekat yang aku sendiri bahkan enggan untuk menghilangkan sekat antaraku dan dia. Tapi hari ini, aku resmi ikhlas. 

Ikhlas pada takdir yang telah membawa dia pergi pada sahabatku. Ikhlas pada takdir yang pernah membuatku kecewa pada sebuah rasa hingga aku menjadi malu setengah mati. Pada langit, pada angin, bahkan pada pasir yang kuinjak. Tempat aku pernah mengisahkan rasaku pada mereka.