Minggu, 06 September 2015

Malam narasi owop

Dia pernah berkata padaku tentang tentang perasaannya yang begitu biasa. Mngkin aku menilai dia seperti orang di bawah rata2. Entah kenapa fikiran semacam itu muncul dalam diriku. Apa karena aku terlalu menilai dia dari materi yang dia punya?

Ah! Entahlah.

Pakaiannya yang lusuh dan telapak kaki yang kadang tidak dialasi oleh sandal buruk sekali pun. Mungkin ini yang membuatku semakin menilainya sebagai orang yang dibawah rata-rata.
Kasihan? Mungkin itu yang membuatku mau menyisihkan sedikit waktu ku bersamanya. Aku juga sadar, selain waktu tak ada yg bisa ku berikan padanya.

Seperti hari-hari sebelumnya. Saat aku melewati jalan yang sama sepulang beraktifitas menuju rumah, aku selalu bertemu dengannya d sudut jalan itu. Mengais hingga dasar. Tak pedulia dengan bau busuk atau pun lalat yang mengerubunginya.

Lagi-lagi aku mencela diriku yang hanya mematung d seberang jalan memperhatikan dia. Menunggunnya hingga menyelesaikan pekerjaannya. Biarlah orang lain melihat aneh padaku yang mematung sendiri di sudut lain jalan ini.

Mungkin ini kelebihan ku. Maksud ku bukan untuk berbangga diri, ya. Hanya saja ini kesadaran yang baru kudapat sebentar ini. Kerelaan ku mendengar ceritanya yang begitu biasa, kebetahan ku menunggunya disudut jalan sepeti ini. Ini mungkin kelebihan ku. Sehingga aku bisa mengahabiskan sedikit waktu mu bersama dia.

Mata ku tak henti memandanginya dari seberang jalan. Satu demi satu, setiap benda yang dia loncatkan keluar tak lepas dari pengamantanku. Dan, sudah beberapa hari ini membuatku bertanya-tanya sendiri. Bahkan dari sebagian besar benda yang di kumpulkannya tidak bisa dihargai dengan rupiah, bahkan sepeser pun.

Mungkin lebih setengah jam aku mematung di seberang jalan sampai dia benar2 menyelesaikan rutinitasnya. Ketika dia sudah berjalan menuju tempat dia beristirahat biasanya, aku pun memacu langkah ku. Berusaha menyamai langkahnya.

Tapi sungguh! Dia semakin aneh saja semenjak seminggu ini. Dan hari ini pun juga, keanehannya semakin menjadi-jadi.

Dari persimpangan tempat dia bekerja tadi, dia tidak berjalan menyusuri persimpangan menuju rumahnya, jika tempat itu bisa dikatakan rumah. Hari ini dia menyusuri jalan dengan arah yang berlwanan. Sengaja aku menperlambat langkah ku agar dia tidak tahu aku mengikutinya.
Sampai di ujung jalan beraspal, dia menyusuri jalan setapak. Jalan itu sepertinya sama sekali belum terjamah oleh yang lain.

Lagi-lagi, aku sabar mengikutinya dari belakang. Menahan diri ku untuk memanggilnya atau pun sekedar membuat suara. Tanpa kusangka, aku semakin dibuat takjub oleh pemandangan yang ku dapatkan setelah menyusuri jalan setapak dlam diam bersamanya.

Jika dikota ini disepanjaang jalan yg melintasi sungai hanya tampak kotornya airnya dan bau busuk yang menguar ke udara, tapi aku tak menemukan itu disini. Air sungai yang kulihat disini masih bisa dikatakan bersih jika dibandingkan dengan sungai yang kusebut tadi. Pemandangan yang terhampar juga sangat indah. Pohon yang rindang semakin membuat tempat itu bak surga di tengah semrautnya kota ini.

Dari tempat ini aku juga bisa memandang deretan gedung2 tinggi yang berdiri angkuh diseberang sana. Namun, ada yang lebih membuat ku takjub dari sekedar pemandangan itu. Ssorang gadis kecil dengan rambut berkepang dua sedang menyusun sampah2 yan g berbentuk balok d atas sebuah meja. Satu demi satu. Begitu hati-hati gadis kecil itu menepatkan balok berikutnya dan barikutnya. Dan aku tak menyangka jika ternyata sampaah yang tak bisa dijual itu dia kumpulkan untuk sigadis kecil yang hendak membangun gedngnya sendiri.

"Kak, puncaknya masih kurang tinggi deh. Belum samaa tinggi sama gedung seberang!" Kata si gadis kecil pada bocah laki-laki yang kuikuti tadi.

"Oke, kakak bntu nambah baloknya, ya. Biar gedung kita mengalahkan tinggu gedung itu!"

"Asik!" Kata si gadis kecil kegirangan.

Setelah meletakkan karung dari pangkuannya, bocah laki-laki itu pun mengambil sejumlah sampah yang menyerupai balok dari dalam karung. Pohon yang perkasa itu pun dipanjatnya sebagai pengganti tangga baginya.

Pemandangan yang sungguh menularkan semacam energi lain pada diriku. Tanpa sadar aku mengambil handphone dari dalam saku dan mengabadikan momen indah ini. Momen yang berharga yang mampu membuatku meneteskan air mata.

"Kak misa! Sejak kapan kakak ada di situ?" Bocah laki-laki itu ternyata menyadari keberaaan ku.

"Mmm..sejak kapan ya?" Sengaja aku tak langsung menjawab pertanyaannya.

"Jadi ini kalian yang bikin? Luar biasa sekali!" Sengaja aku menguhkan kembali perhatian mereka ke bangunan yang sedang mereka bangun. Aku tak ingin bangunan itu hancur hanya karena mereka menyadari kehadiran ku. Selain itu, aku lebih ingin melihat bentuk akhir bangunan yang mereka bangun.

"Bukan kami, kak. Tapi adek yang rancang bangunan ini dari awal. Aku cuma bantu2 dia aja!"

Taulah aku, ternyata si bocah kecil ternyata memiliki seorang adik kecil yang manis dan pintar. Pekerjaan yang dia lakukan ternyata semata untuk adik semata wayangnya. Satu2nya keluarga yang dia punya setelah bencana merenggut keluarganya yang lain.

"Nanti aku mau bikin gedung yang lebih bagus dari gedung itu!" Kata si gadis kecil sambil menunjuk ke seberang sana. Mata mungilnya terlhat sangat berbinar saat dia mengucapkan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar