Senin, 16 November 2020

Cerita sebelum tidur

Aku bingung harus menuliskannya seperti apa. Seolah-olah aku kehabisan kata untuk berkisah lagi malam ini. Setelah sekian lama. Rasanya otak ini begitu kaku memikirkan kata yang pantas untuk menggambarkan se-plot cerita yang sedang berlakon diotakku. Mungkin karena sudah terlalu lama tidak digunakan. Bukan, bukan sudah lama tidak digunakan untuk berpikir, ya, tapi lebih spesifiknya memikirkan rangkaian kata, seperti ini.

Sejujurnya, malam ini aku ingin bercerita tentang mimpiku. Sekian lama aku hidup, sekian lama aku sekolah, dan tiga tahun aku menikah, membuatku kembali bertanya pada diriku sendiri. "Apa mimpi yang paling ingin aku wujudkan?".

Memang, saat aku berumur lima tahun aku bermimpi ingin menjadi seperti ibuku. Penuh kasih dan telaten mengurus aku dan saudara-saudaraku. Namun seiring usiaku bertambah, mimpiku pun berkembang, "Aku ingin jadi orang kaya!"

Bukan kalian saja yang tertawa membaca kata-kata ku barusan. Aku pun ngakak sendiri tapi tentu saja ku tahan, sebab anak-anak dan suamiku sudah tidur. Gila kan aku jika tertawa sendiri dan membangunkan mereka? Yang ada aku diberi muka masa sama sayangku yang kadang nyebelin itu. Hahahaha.

Mungkin sudah hampir satu tahun aku memulai berjualan online. Berawal dari jualan donat, buah, lalu sekarang madu dan beberapa hasil alam lainnya. Begitu banyak suka dan duka yang telah dilalui sejak aku memulai berjualan online dan semua kisah yang telah terlewati itu membuat otakku  selalu berpikir bisnis. Ketika melihat suatu barang bagus otakku mulai jalan dan berkata, "Wah! Ini bisa dijual nih!". Saat itu otakku pun mulai berhitung, berapa untung yang ingin kudapatkan dan berapa harus kujual.

Ketika ulang tahun tiga Minggu yang lalu, aku bertanya pada diriku, aku ingin memberikan kado apa untuk diriku sendiri? Dua minggu berselang, sebuah lintasan pikiran mampir dibenakku. Dia membisikkan, "Mungkin aku harus belajar mewujudkan mimpi di usia sekarang ini!".

Ya, jadilah cerita ini. Serentetan kata yang kutuliskan untuk diriku sendiri agar aku serius untuk belajar mewujudkan mimpiku sendiri. Sebab ada hal yang ingin ku capai setelah aku menjadi kaya. Sebab itulah aku harus serius dengan mimpi menjadi kaya ku.

Oya, obsesiku membangun bisnisku sendiri bukan karena suamiku tidak memberiku uang belanja sehingga aku terpikir untuk menghasilak uang sendiri. Tidak, ya! Aku punya obsesi ini memang untuk menantang diriku, seberapa serius aku dengan mimpiku dan seberapa serius aku ingin membantu orang-orang disekitar ku. Ini sebenarnya kunci utamanya.

So, guys. Yuk kita belajar mewujudkan mimpi. Semoga setelah ini mimpi kita tidak sebatas hayalan yang ingin diwujudkan. Semangat!!

Rabu, 13 Desember 2017

Aku Hanya Memilih Tuhanku

Hatiku pernah memilih seseorang. Lalu berjuang untuk perasaan itu sambil berdoa pada tuhanku agar Dia memberikan dia yang kupilih untukku. Tapi ternyata, tuhanku tak meridhoi. Sekuat apa pun aku mencoba, tak ada titik temu antara aku dan dia. Semuanya serba menggantung, tapi aku terus memaksa agar dibukakan sebuah jalan pertemuan antara aku dan dia. Tapi, semakin aku mencoba semakin aku merasa marah pada diriku. Aku semakin merasa lemah tak berdaya. Tak cukup kuat memperjuangkan sebuah rasa yang kupunya. Lalu akhirnya aku menyerah. Menyerah pada tuhanku yang tak pernah meridhoi kebersamaan aku dengan dia.

            Aku menyerah bukan tanpa alasan. Suatu saat aku diberikan kabar akan kedatangan seseorang. Seseorang yang sama sekali tak ku kenal. Seseorang yang entah siapa. Dan aku, sama sekali belum mengerti siapa dia sebenarnya. Karena itu, hatiku tak bisa menerima kedatangannya.

            Dalam kesalku, dalam gundahku, dalam sedikit kemarahanku, aku bertanya pada tuhanku, “Allah, siapa dia, ya Allah? Apa dia memang seseorang yang kau pilihkan untukku?”

            Lama hatiku bimbang. Lama hatiku mendapatkan alasan untuk berkata, “Ya!” Yang ada, hatiku malah berusaha mencari alasan, kalau-kalau ada alasan yang bisa kugunakan untuk berkata, “Tidak!”

            Yang paling mengesalkan sekali adalah, saat orang-orang yang kuharapkan akan mendukungku untuk berkata tidak, malah tidak mendukung alasan yang kuberikan. Mereka terus saja berkata dan menyuruhku melangkah maju. Mereka lagi dan lagi mendorongku maju tanpa peduli bahwa aku sedang menahan gerak langkahku. Melawan arus dorongan mereka agar aku, setidaknya, bisa sejenak beristirahat. Memikirkan kembali dengan jernih sikap apa yang harus ku ambil.

            Disaat pergolakan antara keinginanku dan keinginan orang-orang disekitarku, aku bertanya lagi pada tuhanku. Merajuk pada tuhanku agar Dia memberikan jawaban yang membuatku tenang. Tapi mungkin kecenderungan hatiku pada orang lain membuatku tak bisa menerima sinyal jawabn yang Dia berikan. Mungkin karena aku masih terpaku pada rasa yang tak kunjung bermuara, membuat aku tak bisa melihat limpahan hikmah yang tuhanku berikan saat itu.

            Lalu, antara mau dan tidak mau, aku membiarkan orang-orang disekitarku mem-plot langkah yang harus ku ambil. Aku menyerah. Dengan pikiran, mungki ini yang tuhanku ingin aku lakukan.

            Step demi step ku lalui. Aku menyerahkan semuanya pada Dia. Meski masih sering keengganan datang dan pergi lalu balik lagi, lagi dan lagi aku menyerah di hadapan Dia. Aku seperti orang yang tersungkur lalu mengaduh pada Tuhanku. Merengek seperti anak kecil agar dipenuhi keinginannya. Tapi ketentuan Tuhanku sudah berlaku. Aku sudah tak bisa lagi menghentikan langkah apalagi surut kebelakang.

            Suatu kali temanku bertanya padaku, “Jadi hal apa yang membuat lu pada akhirnya memilih dia?”

            Hmm. Aku terdiam cukup lama. Memikirkan dan menimbang, hal apa sebenarnya? Dan ternyata aku tak menemukan alasan lain selain, “Mungkin karena Allah yang memilihkan dia kali, ya? Dan gue ga punya alasan syar’i buat nolak dia.”

            Hanya jawaban itu yang ku punya. Berbeda halnya ketika dia bertanya padaku tentang hal yang membuat aku mengagumi sosok yang pernah dipilih hatiku sebelumnya. Dengan lancar dan jelas aku punya alasannya. Tapi aku tergagap ketika ditanya perihal dia, si Takdir Tuhan untukku. Hmm.

            Ya, sampai sekrang pun aku masih punya jawaban yang sama. Belum ada hal yang bisa ku ungkapkan tentang dia. Bahkan ketika berbicara dengan dia suatu saat ketika mengurus sesuatu di kantor urusan agama, aku tak merasa canggung atau merasa sedikir getaran di dada. Tidak seperti teman-teman lain yang kutanya yang telah melewati masa yang sedang kulalui. Mereka bilang, bahkan mereka tidak bisa bicara santai apalagi melihat mata laki-laki mereka saat berbicara dengannya.

            Lagi dan lagi aku bingung. Aku bertanya-tanya sendiri, kenapa aku seperti ini? Apa karena aku belum belajar membuka hatiku untuk dia? Apa karena aku belum menerima sepenuhnya? Oh! Allah.


            Tapi, ya sudahlah. Dari awal sekali, langkahku sampai disini bukan hanya karena aku yang melangkah sendiri. Tapi karena Allah, Tuhanku, yang telah menggerakkan kaki ku. Aku membiarkan Dia menuntun jalanku. Aku tak pedulikan lagi otak dan hatiku yang meronta, karena aku tak berdaya di hadapan Tuhanku. Jika Dia berkehendak aku menuruti pilihannya, mungkin itu yang terbaik untukku, kan? Mungkin ada sesuatu yang sedang dia persiapkan untukku dalam perjalanan selanjutnya.

Selasa, 12 Desember 2017

SINGGAH

Ada yang pernah bilang padaku, ketika hati belum menemukan hati yang mampu membuatnya selalu ingin pulang, dia akan selalu mengembara dan menemukan tempat singgah. Mencoba menelisik kedalam persinggahannya, bertanya pada dirinya sendiri, ”Apakah mungkin ini rumah yang bisa ku tempati?”

            Aku kadang juga begitu. Atau mungkin sering. Membuat hatiku singgah di suatu tempat diam-diam. Tak membiarkan si empu yang punya rumah tahu bahwa aku telah menyinggahi rumahnya. Tentu saja saat itu aku hanya mampu berdiri di luar. Tak mampu menembus masuk lebih dalam, menelisik sesuatu di kedalaman hatinya. Aku tak bisa. Karena aku berada disana diam-diam. Juga tak ingin memberi tahu pemilik hati bahwa hatinya telah membuatku berhenti sejenak di depan pintu hatinya.

            Aku cukup menikmati saat-saat persinggahanku. Meski kadang juga kesal kenapa yang punya rumah tak pernah menyadari keberadaanku di depan pintu rumahnya. Tak tahukan dia bahwa aku membiarkan diriku dibasahi hujan, dipanggang teriknya matahari, bahkan kedinginan sendiri ketika badai datang hanya untuk membuat dia sadar bahwa aku sudah disana sejak waktu yang lama. Menunggu dan berharap dia mengizinkan aku masuk, sekedar berlindung untuk sesaat. Setidaknya ketika hujan aku tak kebasahan lagi. Atau ketika matahari terik aku tak kepanasan lagi. Atau ketika badai, aku tak pelu takut kedinginan dan ketakutan sambil memeluk lututku sendiri lagi di depan teras rumahnya. Aku lagi dan lagi membiarkan diriku menuggu di luar rumahnya.

            Mungkin kalian akan beranggapan aku orang yang tidak tahu malu. Yah, mungkin. Tapi kalian tahu? Bagaimana mungkin bisa aku membuat diriku berlalu ketika mendapati sapaannya yang hangat ketika dia berjalan keluar rumah dan menyapaku? Aku juga tak bisa mengalihkan pandanganku dari senyuman ramahnya di kejauhan yang kuintip dari jendela rumahnya. Atau tingkah konyol dia saat dia bersama dengan teman-temannya yang hanya bisa kulihat dari balik jendela. Semua pemandangan itu selalu berhasil memikatku. Menghapus kejemuan menunggu meski sudah terlalu lama. Selalu berhasil mengurungkan niatku untuk berlalu dari sana dan berlindung dalam rumahku sendiri.

            Ya, ku akui, aku sendiri sering memaki diriku yang entah kenapa terlalu betah berlama-lama disana. Menghayal dalam ketidak-pastian tentang suatu waktu, saat aku bisa menghabiskan waktuku bersamanya. Menghayalkan dia dengan senyumnya yang pada akhirnya mengulurkan tangan dan mengajakku masuk kedalam rumah hatinya. Membayangkan sebuah akhir yang bahagia dari penantian.

            Ya, aku pikir, aku bisa bertahan lama mengagumi dia dalam diam. Aku pikir aku bisa sabar dengan semua pendaman perasaan itu tanpa memberi tahu dia. Tapi ternyata, aku tak sekuat itu. Dalam kejemuan penantian, aku berharap dia sadar. Aku berharap dia membalas, aku berharap dia mengizinkan aku menempati hatinya, untuk selamanya.

            Akan sangat munafik jika aku berkata bahwa aku akan cukup senang ketika dia mengajakku masuk sejenak dihatinya. Tidak. Aku tak ingin ada kata sejenak. Aku hanya akan senang dengan kata selamanya.

            Ketika aku menyadari bahwa harapanku semaruk itu, aku tergagap dengan semua perasaan dan waktu yang telah ku habiskan. Aku kebingungan, haruskan aku melanjutkan atau berhenti saja? Atau haruskah aku menggedor pintu hatinya dan memberi tahu dia dengan lantang bahwa selama ini aku telah menunggunya? Lalu meneriaki dia karena tak pernah sadar dengan semua lelah yang kurasakan dalam penantianku padanya? Lagi-lagi aku bertanya, “Haruskah?”

Jumat, 03 November 2017

ME

Aku ingin berkata bahwa kehidupanku baik-baik saja. Tapi sebenarnya, kata-kata itu tak lebih dari sugesti yang ingin kutanamkan pada alam bawah sadarku agar aku bisa merasa semuanya baik-baik saja dan aku bahagia dengan semuanya. Kenyatannya? Ya, everything is okay!

            Hidup, tentu saja tidak ada yang tidak ada masalah, kan? Setiap orang punya masalah mereka masing-masing. Tak dipungkiri, setiap orang pernah merasa bahwa masalah yang dia hadapi adalah masalah paling berat. Merasa bahwa dia adalah orang yang paling menderita di dunia ini. Merasa tak ada seorang pun bisa memberikan solusi untuk masalah yang dia hadapi. Setidaknya, pendapatku begitu. Karena aku juga pernah berada di posisi itu. Tapi aku harus katakan bahwa hidupku baik-baik saja. Everything is okay!

            Meski suatu hari pernah terpikir olehku untuk terjun dari lantai tiga jurusanku. Sebelumnya bahkan sampai sekarang, sering menangis sendiri ditengah malam. Bukan sedih karen patah hati ditinggal pacar, ya. Bukan level masalahku kalau itu, mah! Terlalu cemen bagiku jika masalahnya hanya itu. But, my life is happy life! Aku harus selalu mengatakan itu pada diriku.

*to be continued*

Senin, 30 Oktober 2017

Perjuangan Sebuah Temu

Dari dia aku belajar tentang sebuah perjuangan mempertahankan cita. Belajar tentang perjuangan menuju sebuah temu. Yang diridhoi tuhannya dan direstui orang tuanya. Belajar tentang besabar menahan sebuah rindu pada sebuah pertemuan yang halal dan menjaga kejernihan hati selama itu.

            Perbedaan level latar belakang pendidikan yang membuat beberapa dari pihak keluarganya menentang. “Ah! Percuma kamu sekolah tinggi-tinggi jika pada akhirnya menikah dengan seorang laki-laki yang hanya lulusan SMA!” Begitulah kira-kira bantahan dalam bentakan yang diucapkan keluarganya yang lain. Bukan ibu atau bapaknya.

            Padahal, dari cerita dia, aku tahu bahwa laki-laki yang meminta dia adalah laki-laki yang baik. Selalu berusaha menjalankan perintah tuhannya dan terus berusaha menambah pemahaman dia tentang agama tuhannya. Lalu, hanya karena level pendidikan si pria lebih rendah dari si wanita, kerabatnya menentang niat mereka.

            Ah! Pertemuan menuju sebuah kebaikan emang selalu penuh aral merlintang, ya.

            Aku pun merasakan hal yang sama. Bedanya, orang tuaku setuju sementara aku, pada awalnya enggan karena yang datang bukan seseorang yang aku pernah menaruh hati padanya Ah! Permasalahan yang lebih sepele lagi, kan? Ya, menurut sebagian besar orang, tapi bagiku itu sesuatu yang penting.

            Aku kesal, aku marah, aku sakit hati hingga sampai menangis ketika mendengar kabar yang tiba-tiba itu. Hatiku berteriak meronta, “Kenapa bukan dia yang itu? Kenapa dia yang ini?! Aku tak kenal siapa dia!”

            Ah! Berat! Sejak saat itu pertarungan antara hati dan logika ku dimulai. Ditambah lagi oleh desakan orang tua yang sangat berharap aku tidak menolaknya. Siang malam aku uring-uringan. Hatiku meragu dan bertanya, “Bagaimana kalau seandainya nanti aku tidak bisa mencintai dia? Akankah aku bisa menjadi wanita yang baik untuk dia? Oh, tuhan!”

            Seringkali jeritan itu bertalu dihati dan benakku. Beradu argumen antara mereka. Sementara logika ku berkata, “Kamu, bukannya sebelumnya kamu meminta pada tuhan untuk memilihkan seorang laki-laki yang baik menurut Dia? Kamu sendiri yang menyerahkan semua keputusan pada Dia. Lalu, sekrang, saat Dia sudah mengirimkan padamu sosok itu, kenapa menangis? Kamu tahukan, tuhanmu, Allah, lebih mengetahui yang terbaik untuk kamu!”

            Hatiku mereda sejenak. Mengalah pada logisnya argumen logika. Lalu mencoba mengayunkan langkah pada satu tahapan pertama. Tapi setelah itu, batinku meronta lagi, meragu lagi, kesal dan marah lagi. Lalu lagi-lagi pada akhirnya mengalah pada logika yang meyakini kebaikan Sang Pemilik takdir dan Penggenggam hati. Kemudian, terulang lagi, berteriak lagi. Kali ini lebih keras hingga dia membisikkan kata tolak, tapi logika ketuhananku mengalahkan ego yang dipenuhi nafsu.

            Langkahku kini sudah jauh. Meski kadang keraguan itu sesekali masih datang menghampiri. Tapi, ya sudahlah. Langkahku sampai sejauh ini juga karena Dia yang meridhoi. Karena takdir dan kehendak Dia. Dan aku masih yakin, bahwa Allah tidak akan menyianyiakan hambanya yang selalu berusaha mengingat dia di setiap akhtivitas dan helaan nafasnya.



            Allah. Jika memang ini kehendakMu dan dia adalah sosok terbaik untukku menurut Engkau, maka buatlah hati ini condong padanya. Bantu aku nanti menjadi istri yang baik dan berbakti pada suamiku.

Sabtu, 28 Oktober 2017

Prolog

Aku tidak tahu bagaimana harus memulai cerita ini. Memulainya dengan cerita tentang dia yang memintaku bercerita, rasanya tidak asik jika memulainya begitu. Jika memulainya dengan deskripsi, ini bukan cerita dengan latar belakang tempat yang indah dan menyenangkan. Jika dimulai dengan kata-kata sedih, aku takut dikira lebay.

Ya, lebih tepatnya ini yang ku takutkan. Aku tak ingin dikira lebay. Oleh siapa? Adalah pokoknya. Selama hidupku mereka yang selalu mebuatku merasakan banyak ketakutan. Mereka yang sering membuatku merasa tidak percaya diri. Kadang kala atau mungkin sering, aku merasa lebih senang dan relaks ketika tidak sedang bersama mereka. Jika seandainya mereka membaca ini, mungkin mereka akan mencibirku. Mengatakan bahwa sebenarnya aku yang tak bisa bersikap baik pada mereka. Tapi, ya sudahlah.

            Aku tidak sedang ingin menjelekkan. Karena kejelekan mereka juga kejelekkan ku, sebenarnya. Aku hanya ingin bercerita. Anggaplah aku tidak punya bahan lain untuk diceritakan. Kalau pun nanti mereka membca ini, ya, tak apa. Aku pasrah saja pada apa yang akan mereka lakukan padaku. Aku tak ingin memikirkan itu sekarang. Aku ingin belajar untuk tidak takut lagi dengan apa pun kata-kata mereka padaku. Aku ingin belajar meyakini bahwa aku pun bebas untuk mengatakan apa yang aku ingin katakan. Aku bebas untuk menuliskan apa yang aku ingin tuliskan tanpa takut lagi dengan apa pun penialaian mereka terhadapku. Aku hanya ingin cerita. Itu saja.

Jumat, 22 April 2016

Menjadi Tak Waras

Biasanya aku tak seterbuka ini tentang perasaan. Aku tak pernah ingin berbagi rasa dengan orang-orang di sekitarku tentang getaran kecil yang kupendam untuk seseorang. Jangankan pada sahabatku sendiri, pada diriku sendiri aku enggan mengakui rasa itu.

Tapi hari itu, aku tiba-tiba menjadi orang paling extrovert sedunia. Aku dengan terang-terangan bercerita pada mereka tentang bagaimana aku bisa menjadi menyukai orang itu. Ya, aku hanya menyukai, sebatas suka, ya. Bukan cinta. Meski begitu, dulu sekali, aku tak pernah ingin mengakui bahkan tak mau bercerita
tentang kekagumanku pada seseorang. Namun kali ini, cerita itu mengalir dengan lancar dan sendirinya dari bibirku. Seolah-olah aku sedang mendeklarasikan bahwa aku suka dia. Seolah-olah ada penegasan pada semua yang disana, "Jangan pernah berani kalian merebut dia dariku!"

Hah! Gilaaaa! Sungguh gila!

Itu bukan aku sama sekali. Bukan aku yang biasa. Entah setan apa yang merasukiku sehingga aku tak sedikit pun malu mendeklarasikan tentang rasa hatiku pada mereka. Aku jadi benar-benar tidak peduli jika seandainya cerita itu menyebar kemana-mana, bahkan aku tak merasa baik-baik saja jika seandainya cerita ini sampai pada telinganya. Ooohh..! benar-benar tidak tahu malu!

Mungkin ada yang beranggapan itu biasa saja. Iya, biasa saja bagi sebagian orang. Tapi tidak bagiku. Aku yang normal selalu beranggapan bahwa menyimpan rasa lebih baik dibandingkan mengungkapkan rasa bila tak siap untuk komitmen. Ya, mungkin kalian menganggap aku tipe oranf yang terlalu serius. Tak apa! Karena bagiku perasaan itu bukan sesuatu yang bisa dibercandakan. Aku takut merasa luka, karena itu aku lebih memilih menghindarinya sama sekali.

Dan suatu hari berita itu datang. Kabar tentang sebuah ikatan janji yang akan orang itu lakukan dengan perempuan yang sangat aku kenal, dekat. Ah! Tak usahlah aku ceritakan bagaimana hatiku waktu itu, yang jelas beberapa waktu setelah itu aku seperti mengangkat bendera perang pada si calon pengantin wanita.

Ah! Benar-benar gila.

Aku benar-benar merasa konyol! Bahkan saat ini, saat semua kesadaran telah kembali lagi padaku, membuat aku menertawakan diriku sendiri. Aku benar-benar merasa tolol dengan ketidakwarasan yang pernah menghinggapiku. Membuatku berjanji tak akan sekalipun, lagi, pernah mengungkap rasa jika belum saatnya.